"bicaralah heart to heart (dari hati ke hati), saling curhat seperti waktu masih pacaran"

Surabaya (ANTARA ntara) - Di dunia modern ini persaingan karier dan hubungan antarpersonal dalam pasangan nikah tidak jarang memicu perceraian.

"Kalau sudah begitu, mau pilih mana? Bercerai atau tetap kemelut?," ucap ahli ilmu kejiwaan Prof dr Willy F. Maramis SpKJ(K) dalam seminar yang diadakan Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya hari ini.

Di hadapan sejumlah pasangan suami istri dalam seminar mengenai relasi dan komunikasi suami istri, ia mengatakan orang sering terjebak pada satu atau dua pilihan, padahal jika kritis, mereka bisa menemukan banyak pilihan.

"Situasi pasangan suami istri yang sama-sama berkarier atau penghasilan suami yang lebih rendah daripada istri tidak jarang memunculkan percikan api yang siap menghanguskan biduk rumah tangga. Itu penyebab perceraian yang sering terjadi," kata dia.

Dekan FaKultas Kedokteran universitas tersebut menawarkan satu resep yakni menjalin komunikasi berempati atau bicara dengan perasaan.

"Komunikasi yang baik membutuhkan keterbukaan. Baik terbuka dalam memberi umpan balik maupun terbuka untuk menerima umpan balik," ujar guru besar yang tetap enerjik dalam usianya yang memasuki 88 tahun pada Juni 2014 itu.

Menurut dia, bila tidak ada usaha secara sadar untuk berkomunikasi empatis, maka suami istri cenderung saling menjauh dalam hidup modern yang lebih menomorsatukan prestasi dan kenikmatan daripada hubungan dalam perkawinan.

"Memberi umpan balik dengan komunikasi yang baik mampu memperkaya diri sendiri dan orang lain. Keterbukaan diri dan empati dapat dilatih," tuturnya.

Caranya, "bicaralah heart to heart (dari hati ke hati), saling curhat seperti waktu masih pacaran". Bicara dengan perasaan. Hilangkan kesan menyudutkan pasangan dan tempatkanlah diri Anda pada situasi pasangan.

"Komunikasi dengan perasaan akan menimbulkan relasi yang akrab, hangat, dan intim. Sediakan waktu untuk berkomunikasi dari hati ke hati dengan si dia," urainya.

Dia menyimpulkan, bercerai atau kemelut bukan pilihan. "Diperlukan usaha dari kedua belah pihak. Hidup yang berarti tidak terjadi secara kebetulan, tidak juga karena situasi, tetapi adalah pilihan," kata dia.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014