Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan upaya Indonesia untuk mencapai transisi energi bukan hanya sebuah keharusan lingkungan, melainkan juga bagian penting dari strategi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Oleh karena itu, ia menilai pentingnya kebijakan fiskal yang selalu mendukung transisi energi di Indonesia.

“Upaya transisi energi tidak boleh dipandang sebagai upaya untuk menghambat pertumbuhan ekonomi. Transisi energi harus dipertimbangkan dan dilihat sebagai progres pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia. Kami akan terus merumuskan kebijakan yang tepat sehingga mampu melaksanakan transisi energi,” kata Sri Mulyani di sesi pleno Indonesia International Sustainibility Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Jumat.

Sri Mulyani menyampaikan, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengeluarkan berbagai instrumen kebijakan fiskal hijau termasuk obligasi hijau (green bonds) dan obligasi biru (blue bonds), baik di pasar domestik maupun global.

Langkah-langkah ini dirancang untuk mengumpulkan dana dari investor demi membiayai proyek-proyek ramah lingkungan, seperti pengembangan energi terbarukan dan pengelolaan hutan berkelanjutan.

Baca juga: Sri Mulyani: Transisi energi tak bisa hanya mengandalkan APBN

Ia juga mengklaim bahwa Indonesia menjadi salah satu pionir di antara negara berkembang yang menggunakan instrumen fiskal untuk membiayai proyek hijau.

Melalui kebijakan ini, Menkeu berharap bisa mengundang lebih banyak partisipasi dari sektor swasta, baik dalam negeri maupun global, untuk berinvestasi dalam proyek hijau di Indonesia.

Namun, tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini yakni memobilisasi sumber daya yang cukup besar untuk memenuhi target ambisius penurunan emisi karbon.

Indonesia sendiri telah menetapkan target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060 dan berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 31,89 persen menggunakan upaya sendiri, dan hingga 43,2 persen dengan dukungan internasional.

Sri Mulyani mengakui bahwa Pemerintah Indonesia tidak bisa melakukan ini sendirian. Oleh karena itu, kolaborasi dengan sektor swasta dan mitra internasional sangat krusial.

Baca juga: Sri Mulyani ungkap krisis iklim dapat sebabkan penurunan PDB 10 persen

“Kita perlu terus bekerja keras agar dapat menggunakan instrumen terbaik dalam kerangka regulasi Indonesia, juga pada saat bersamaan berkomunikasi secara intensif dengan sektor swasta dan stakeholder lainnya agar kita tidak hanya merancang, tetapi juga mengimplementasikan transisi energi," terangnya.

Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia juga telah meluncurkan platform Just Energy Transition Partnership (JETP). Meski implementasinya masih dalam tahap awal, Sri Mulyani terus memantau kemajuan dan tantangan yang ada.

Bendahara Negara itu juga menyoroti pentingnya penetapan harga karbon (carbon pricing) yang konsisten guna menciptakan insentif bagi sektor swasta dalam upaya mengurangi emisi.

Langkah-langkah seperti ini diharapkan tidak hanya mempercepat transisi energi Indonesia, namun juga membuka peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Sri Mulyani menambahkan, dengan kebijakan fiskal yang mendukung dan komitmen kuat dari berbagai pihak, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin global dalam pembiayaan proyek hijau.

“Indonesia akan terus melanjutkan peran penting ini bukan karena kita tidak menyadari bahwa ancaman perubahan iklim itu nyata, tetapi kita juga memahami bahwa perubahan iklim adalah masalah global. Masalah global hanya dapat diatasi secara efektif jika semua negara mau bekerja sama dan berkolaborasi,” pungkasnya.

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2024