Ada beberapa hal yang kami tangkap alasan penolakan semua calon hakim agung yang disampaikan oleh KY kepada DPR: ada isu calon hakim agung tidak memenuhi syarat tiga tahun sebagai hakim tinggi, ada juga isu bahwa calon hakim agung tidak memenuhi syar
Jakarta (ANTARA) - Komisi Yudisial (KY) mengirim surat keterangan tambahan ke Komisi III DPR RI yang berisi klarifikasi soal seleksi calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM di Mahkamah Agung (MA) tahun 2024.

“Surat itu disampaikan tadi pagi, tentunya langkah ini diambil untuk membangun kembali komunikasi dengan DPR, untuk meluruskan kesalahan persepsi,” ucap Wakil Ketua KY Siti Nurdjanah saat konferensi pers di Kantor KY RI, Jakarta, Jumat.

Surat yang ditandatangani Ketua KY Amzulian Rifai (4/9) itu intinya menyatakan bahwa seleksi calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM telah memenuhi peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait.

“KY akan terus berkoordinasi dengan DPR RI agar keterangan tambahan yang ada dalam surat yang tadi pagi kami kirim ke DPR ini dapat menjadi pertimbangan, sehingga calon yang diusulkan oleh KY dapat disetujui untuk diangkat menjadi hakim agung,” kata Siti.

Baca juga: KY tunggu surat resmi penolakan calon hakim tahun 2024 dari DPR

Pada Jumat (12/7), KY mengumumkan sembilan nama yang lolos seleksi calon hakim agung dan tiga nama calon hakim ad hoc HAM. Kemudian, nama-nama tersebut diserahkan ke DPR RI untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).

Namun, Komisi III DPR RI, Rabu (28/8), sepakat tidak menyetujui 12 nama yang direkomendasikan KY. Fraksi-fraksi di parlemen menyatakan ada kesalahan mekanisme seleksi karena KY meloloskan calon yang tidak memenuhi syarat.

“Ada beberapa hal yang kami tangkap alasan penolakan semua calon hakim agung yang disampaikan oleh KY kepada DPR: ada isu calon hakim agung tidak memenuhi syarat tiga tahun sebagai hakim tinggi, ada juga isu bahwa calon hakim agung tidak memenuhi syarat 20 tahun sebagai hakim,” ucap Anggota KY Sukma Violetta pada konferensi pers itu.

Sukma menjelaskan, dalam menyeleksi calon hakim agung, KY juga merujuk kepada Putusan MK Nomor 53/PUU-XIV/2016. Berdasarkan putusan tersebut, MK menyatakan syarat calon hakim agung dari jalur hakim karier, salah satunya, berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim, termasuk pernah menjadi hakim tinggi.

“Artinya, walaupun satu hari menjadi hakim tinggi, termasuk apabila hakim tersebut tidak ditempatkan di pengadilan tinggi, tetapi ditempatkan di unit-unit di MA, misalnya di Badan Pengawas MA, di kepaniteraan dan sebagainya, maka hakim karier tersebut sudah memenuhi syarat sebagai calon hakim agung,” jelas dia.

Baca juga: KY: Seleksi calon hakim agung dan ad hoc HAM telah sesuai prosedur

Sementara itu, terkait persoalan calon hakim agung kamar Tata Usaha Negara (TUN) khusus pajak tidak memenuhi syarat berpengalaman 20 tahun menjadi hakim, KY merujuk kepada Putusan MK Nomor 6/PUU-XIV/2016 dan Nomor 26/PUU-XXI/2023.

Anggota KY Binziad Kadafi menjelaskan, Putusan MK Nomor 6/PUU-XIV/2016 memperjelas status hakim Pengadilan Pajak sejajar dengan hakim di Pengadilan Tinggi TUN, Pengadilan Tinggi pada lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Tinggi Agama.

Menurut dia, Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 memperjelas status hakim Pengadilan Pajak karena memandatkan penyatuan atap agar pembinaan terhadap Pengadilan Pajak, termasuk pembinaan terhadap hakim, dijalankan sepenuhnya oleh MA.

Selain itu, jika merujuk situasi empiris, menurut KY tidak ada hakim di Pengadilan Pajak yang memenuhi pengalaman menjadi hakim paling sedikit 20 tahun. Hal ini karena Pengadilan Pajak baru dibentuk pada April 2002 dan syarat minimal menjadi hakim pajak ialah 45 tahun.

“Bahkan, bisa dikatakan, hingga tujuh tahun ke depan, tidak akan ada hakim Pengadilan Pajak yang memenuhi persyaratan menjadi hakim selama 20 tahun,” ucap Kadafi.

Baca juga: KY minta media massa kawal penegakan integritas hakim

Selain itu, KY menimbang beban perkara yang cukup tinggi. Menurut data KY, dari 7.979 perkara di Kamar TUN MA pada tahun 2023, sebanyak 88,65 persen di antaranya merupakan perkara Peninjauan Kembali (PK) Pajak.

Sementara itu, hakim agung Kamar TUN berjumlah tujuh orang dan hanya satu yang memiliki spesifikasi keahlian di bidang pajak.

“Padahal, perkara PK Pajak yang masuk ke MA, dengan jumlah yang mendominasi perkara yang masuk ke Kamar TUN, itu membutuhkan keahlian yang sangat spesifik untuk bisa memeriksa dan memutusnya dengan kompeten, baik, dan konsisten,” ujar Kadafi.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024