Upaya dekarbonisasi di ASEAN harus memprioritaskan optimalisasi investasi publik dan swasta. Dan itulah mengapa kita benar-benar perlu berdiskusi tentang perubahan iklim dengan semua stakeholder,

Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, perubahan iklim dapat menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 10 persen pada 2025.


Ia menilai risiko tersebut menjadi konsekuensi pahit apabila perubahan iklim tidak segera ditangani.

“Ini (penurunan) cukup besar, 10 persen dari PDB. Setiap kali kita berusaha meningkatkan PDB sebesar tiga persen, seperti tahun 2024 dan 2025 ini, dibutuhkan usaha yang sangat besar, terutama dengan banyaknya risiko negatif seperti ini (perubahan iklim),” kata Sri Mulyani dalam sesi tematik Indonesia International Sustainibility Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Jumat.

Ia menekankan bahwa kehilangan 10 persen PDB akan memberikan konsekuensi yang tidak hanya mempengaruhi ekonomi, tetapi juga dalam upaya mengatasi kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, khususnya bagi generasi muda.

Selain itu, kenaikan suhu global yang menyebabkan meningkatnya frekuensi bencana alam dapat merusak infrastruktur yang telah dibangun, yang pada akhirnya akan menjadi sia-sia dan memakan biaya yang sangat besar.

Perubahan iklim juga dapat memicu ketidakstabilan sosial-politik, di mana kelompok masyarakat miskin cenderung menjadi pihak yang paling terdampak.

Hal ini dapat memperlebar kesenjangan sosial dan meningkatkan ketegangan politik.

“Jadi, kita memahami bahwa perubahan iklim perlu segera ditangani. ASEAN, dalam hal ini, sebagai suatu kawasan yang memiliki pertumbuhan ekonomi sekaligus ketahanan, tetapi tidak terlepas dari ancaman perubahan iklim dan geopolitik,” jelasnya.

Dalam pidatonya, Sri Mulyani menyoroti kerentanan kawasan ASEAN terhadap dampak krisis iklim. Berdasarkan estimasi Bank Pembangunan Asia (ADB), PDB ASEAN dapat turun hingga 11 persen akibat perubahan iklim.

Kendati hanya menyumbang sekitar tujuh persen emisi global, ASEAN tetap perlu melanjutkan proses pembangunan dibarengi upaya pengurangan emisi CO2.

Maka dari itu, ia menegaskan perubahan iklim perlu diatasi, terlebih Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) telah menyatakan tahun 2023 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat.

“Upaya dekarbonisasi di ASEAN harus memprioritaskan optimalisasi investasi publik dan swasta. Dan itulah mengapa kita benar-benar perlu berdiskusi tentang perubahan iklim dengan semua stakeholder,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menyambut baik ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance yang kini memasuki versi ketiga, yang mencakup panduan transisi untuk sektor transportasi, penyimpanan, konstruksi, dan real estat.

Sebagai bagian dari komitmen Indonesia, Indonesia menetapkan 31,89 persen sebagai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030 tanpa bantuan internasional.

Sementara itu, target penurunan emisi GRK di Indonesia dengan bantuan internasional pada tahun 2030 adalah 43,2 persen.

"Kita memerlukan 281 miliar dolar AS untuk memenuhi komitmen kita terhadap penurunan emisi CO2 untuk transisi energi,” ucapnya.

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2024