Potensi biokultural Indonesia sangat besar, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal
Jakarta (ANTARA) - Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid menyatakan bahwa interaksi masyarakat dengan ekosistem menjadi inti pemajuan kebudayaan.

"Pengetahuan tentang alam yang bersumber dari interaksi masyarakat dengan ekosistem adalah bagian inti dari kebudayaan. Potensi biokultural Indonesia sangat besar, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal," katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.

Hal tersebut disampaikan Hilmar mengawali rangkaian tur kuliah umum di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, pada Rabu (4/9). Kuliah umum tersebut akan diselenggarakan di 11 universitas seluruh Indonesia untuk membahas isu-isu strategis terkait amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Hilmar menyebutkan sebagian besar pengetahuan lokal yang menjadi dasar dari pengobatan modern, seperti aspirin dan kina berasal dari warisan tradisional, yang jika dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi ciri khas budaya Indonesia yang kaya.

Baca juga: Diplomasi budaya, Kemdikbudristek gelar Residensi Pemajuan Kebudayaan

Selain itu, menurutnya, Aceh memiliki kekayaan budaya dan keanekaragaman biokultural yang luar biasa, seperti ekosistem Ulu Masen di Gunung Leuser dan bakau yang terhubung erat dengan budaya lokal, tetapi memiliki tantangan besar terkait pemanfaatan kekayaan tersebut dengan baik.

"Di Aceh terdapat tanaman langka yang berpotensi besar untuk pengobatan, tetapi risetnya masih minim. Kekayaan biokultural Aceh bisa menjadi kunci dalam pengembangan wellness (kesehatan) dan gaya hidup sehat berbasis kearifan lokal," ujar dia.

Ia juga menekankan pentingnya menjaga ketahanan budaya agar tetap relevan di tengah perubahan global.

"Jika kita mampu mengelola kekayaan biokultural dengan baik, budaya kita akan tetap kuat dan tidak tergerus oleh budaya asing," ucapnya.

Ia melanjutkan, kebutuhan pembukaan program pendidikan tinggi di bidang arkeologi, epigrafi, antropologi, film dan televisi, serta tata kelola seni yang saat ini belum tersedia di Aceh juga menjadi penting.

"Pendidikan tinggi dalam bidang kebudayaan di Aceh bukan hanya kebutuhan, tetapi juga menjadi landasan penting agar dapat memanfaatkan biokultural masa depan," tuturnya.

Baca juga: Kemendikbud gelar Residensi Pemajuan Kebudayaan lestarikan budaya

Hilmar juga menegaskan pentingnya sinergi trans-disipliner, yakni kolaborasi multi-aktor seperti wali nanggroe, majelis adat, dewan kesenian, dan dewan kebudayaan dalam merumuskan kebijakan budaya yang komprehensif di Aceh.

Partisipasi publik juga penting dengan mengajak masyarakat untuk lebih aktif terlibat dalam inisiatif-inisiatif seni dan budaya, termasuk pemanfaatan ruang publik sebagai pusat kegiatan budaya.

Sementara itu Rektor Universitas Syiah Kuala Marwan menyoroti pentingnya sinergi antar-lembaga seperti perguruan tinggi dan pemerintah dalam pemajuan kebudayaan.

"Universitas Syiah Kuala terus berupaya untuk tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan riset, tetapi juga pusat kebudayaan yang berkontribusi pada pelestarian dan pembangunan budaya. Harapannya agar para generasi muda tidak hanya mengenal kebudayaan tetapi memiliki komitmen untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan," katanya.

Baca juga: Kemendikbudristek gelar tur gerakan Cipta Kawasan Pemajuan Kebudayaan

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024