Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis neurologi konsultan dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RSPON) dr. Beny Rilianto, Sp. N(K), M.Epid, FINA mengingatkan orang dengan riwayat keluarga yang pernah menderita aneurisma otak, apalagi jenis ruptur (pecah), harus melakukan pemeriksaan secara rutin.

Hal ini, ujar Beny, mengingat faktor genetik merupakan faktor risiko kuat pada aneurisma otak. Dia mengatakan, skrining atau pemeriksaan untuk mendeteksi ada atau tidaknya aneurisma otak tidak cukup hanya dilakukan sekali, tetapi harus beberapa kali dalam kurun waktu tertentu.

“Untuk mengevaluasi (ada atau tidaknya aneurisma otak), tidak cukup sekali. Apalagi ketika belum ada gejala dan pasien masih muda. Tidak menjamin pada saat dia periksa (pertama kali) tidak ada aneurisma. Mungkin ada, dia sudah punya bakat, tapi tonjolan baru menjadi membesar beberapa tahun kemudian,” kata Beny dalam webinar di Jakarta, Kamis.

Aneurisma otak merupakan penonjolan bagian pembuluh darah atau lebih tepatnya pelebaran dinding pembuluh darah. Beny menggambarkan aneurisma seperti balon yang semakin lama semakin membesar hingga mencapai diameter tertentu yang kemungkinan akan pecah seiring waktu.

Apabila salah satu anggota keluarga sedarah pernah menderita aneurisma berjenis ruptur atau pecah, Beny mengatakan bahwa tingkat risiko seseorang bisa mengalami penyakit tersebut mencapai 10 persen.

Merujuk pada berbagai literatur, Beny mengatakan bahwa kasus aneurisma yang dialami orang Indonesia bisa jadi berbeda dengan orang Eropa atau negara-negara lainnya. Pada beberapa kasus, aneurisma dengan diameter kecil namun sudah pecah. Ada pula aneurisma yang cukup besar namun tidak pecah.

“Jadi banyak faktor yang salah satunya itu genetik. Genetik memang di luar kendali kita. Jadi, kita hanya bisa mengontrol faktor risiko yang lainnya, salah satu cara untuk mencegah terjadi aneurisma,” kata dia.

Beny mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati apabila terdapat anggota keluarga yang tiba-tiba mengalami nyeri kepala hebat yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Gejala ini bisa dicurigai sebagai aneurisma yang pecah.

Dia mengatakan, aneurisma otak yang pecah harus bisa ditangani dalam waktu 24 jam pertama. Jika tidak, kondisi tersebut dapat menimbulkan kecacatan yang tinggi bahkan mengancam nyawa atau menyebabkan kematian.

Untuk aneurisma otak yang pecah, dokter akan melakukan tindakan pembedahan yang disebut clipping dengan menjepit pembuluh darah. Opsi lain yaitu coiling atau memasang kumparan di lokasi aneurisma. Pada prinsipnya, kedua tindakan ini sama-sama bertujuan untuk menghentikan aliran darah ke aneurisma.

“Untuk aneurisma yang tidak pecah, kita mungkin tidak perlu tindakan yang sesegera mungkin. Tapi kita harus tahu bahwa beberapa kondisi di aneurisma tersebut, yang mempunyai tingkat risiko pecah yang berbeda-beda,” kata Beny.

Apabila aneurisma belum pecah, Beny menjelaskan bahwa dokter harus meninjau kasus demi kasus serta mempertimbangkan faktor usia usia, komorbid, hingga tingkat potensi ruptur dan morfologi aneurisma sebelum benar-benar melakukan tindakan atau tata laksana.

“Morfologi dari aneurisma juga menentukan pendekatan terapi yang tepat, apakah dengan pembedahan atau dengan tindakan kateter (coiling). Kalau usianya sudah tua, lebih tepat mungkin dengan katerisasi walaupun semua usia bisa kedua prosedur tersebut. Di sinilah pentingnya diskusi dengan tim, apakah ini tindakan yang paling tepat untuk pasien,” kata Beny.

Baca juga: CT Scan dan MRI berperan penting dalam diagnosis aneurisma otak

Baca juga: Dokter: Waspada, aneurisma otak yang tak pecah seperti bom waktu


Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024