Bandung (ANTARA News) - Indonesia membutuhkan teropong yang lebih besar untuk ilmu astronomi modern sehingga bisa mengimbangi teknologi astronomi yang dimiliki negara di kawasan itu, kata Guru Besar Kelompok Keahlian Astronomi ITB, Prof Dr Suhardja D.Wiramihardja.
"Saat ini Indonesia hanya memilliki teropong terbesar dengan diameter 0,7 meter. Teropong ini sangat jauh tertinggal, Australia dan Thailand telah memiliki teropong yang berdiameter lebih besar," katanya di Bandung, Jumat.
Ia menyebutkan, sejumlah negara telah memiliki teropong dengan diameter 12 meter hingga 15 meter, sehingga fasilitas yang ada saat ini jauh tertinggal.
Menurut Suhardja ilmu astronomi merupakan ilmu tertua yang memiliki banyak sekali kegunaanya. Astronomi bisa digunakan untuk menentukan musim tanam padi, hingga menentukan arah bagi nelayan.
"Rasi Bintang yang disebut Bentang Layang dimanfaatkan oleh nelayan untuk menentukan arah selatan bagi nelayan dan menentukan musim tanam bagi petani," katanya.
Suhardja menjelaskan masyarakat Sunda bahkan telah memanfaatkan ilmu astronomi sejak zaman dulu. Menurutnya, warga di Tatar Pasundan itu menggunakan ilmu astronomi sebagai penunjuk waktu.
"Pranatamangsa merupakan sistem penanda waktu yang telah digunakan oleh etnis Sunda sejak zaman dulu," kata Suhardja.
Selain sebagai penunjuk waktu masyarakat juga menggunakan astronomi untuk kegunaan lain. Orion Belt yang disebut masyarakat sunda dengan "Wuluku" telah digunakan sebagai penanda musim.
"Wuluku digunakan oleh masyarakat sunda sebagai penanda musim," kata Suhardja.
Ia menjelaskan, astronomi sebagai ilmu tertua masih relevan dan terus berkembang hingga saat ini. Astronomi akan terus diperlukan karena rasa ingin tahu manusia akan terus berkembang dan tidak akan hilang.
Pewarta: Syarif Abdullah
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014