Karena cuaca masih panas dan hujan sedikit, kami mengimbau masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar. Langkah ini sangat penting untuk mencegah kebakaran yang lebih luas dan merusak lingkungan serta kesehatan masyarakat
Pontianak (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Supadio mencatat peningkatan signifikan jumlah titik panas (hotspot) di wilayah Kalimantan Barat (Kalbar), dimana pada 4 September kemarin terpantau 4.168 titik panas di beberapa wilayah provinsi itu.

"Berdasarkan pantauan Satelit Himawari, terdeteksi sebanyak 4.168 titik panas yang tersebar di berbagai daerah di provinsi ini. Kondisi tersebut meningkatkan kekhawatiran akan potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat dan mengancam ekosistem lokal," kata Koordinator Bidang Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Kelas I Supadio, Sutikno di Pontianak, Kamis.

Dia menjelaskan titik panas yang terdeteksi oleh BMKG mengindikasikan adanya peningkatan suhu permukaan yang signifikan. Hal ini sering kali merupakan tanda awal terjadinya kebakaran, terutama di daerah-daerah yang rentan.

Menurutnya, potensi karhutla semakin tinggi sejak akhir Agustus. "Sejak tanggal 31 Agustus 2024, sudah tidak ada lagi potensi hujan hingga bermunculan sejumlah titik panas. Sementara, hingga 4 September 2024 kemarin, terdeteksi sudah sebanyak 8 ribu titik panas dalam empat hari itu, dengan sebagian besar berada dalam kategori tinggi," tuturnya.

Baca juga: Waspada karhutla, BMKG: Titik panas Kalbar melonjak ada 2.015 titik

Lebih lanjut Sutikno menjelaskan kondisi ini diperparah oleh fenomena cuaca ekstrem yang terjadi di wilayah utara Indonesia.

"Tidak turunnya hujan di Kalbar disebabkan oleh adanya Siklon Tropis Yagi di sebelah utara Indonesia, tepatnya di sekitar Laut Cina Selatan dan Filipina. Badai ini menarik lebih banyak uap air di sekitar Kalbar, sehingga potensi hujan sangat minim," katanya.

Siklon Tropis Yagi menjadi salah satu faktor utama yang membuat uap air yang seharusnya menurunkan hujan di wilayah Kalbar tertarik oleh badai tersebut. Akibatnya, daerah ini mengalami periode kekeringan yang meningkatkan risiko kebakaran karhutla.

BMKG memprediksi dalam sepekan ke depan masih ada potensi curah hujan di beberapa wilayah di Kalbar, namun sifatnya belum konsisten. Hal ini membuat ancaman karhutla tetap tinggi, terutama setelah tanggal 12 September 2024 ketika curah hujan diperkirakan masih belum mencukupi untuk meredakan kondisi kering yang memicu kebakaran.

"Karena cuaca masih panas dan hujan sedikit, kami mengimbau masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar. Langkah ini sangat penting untuk mencegah kebakaran yang lebih luas dan merusak lingkungan serta kesehatan masyarakat," kata Sutikno.

Baca juga: BNPB maksimalkan penanganan karhutla di Kaltim agar tak terus meluas

Dengan meningkatnya titik panas dan ancaman karhutla, BMKG mengingatkan pemerintah daerah (pemda) dan masyarakat agar lebih waspada dan proaktif dalam mencegah terjadinya kebakaran. Masyarakat diharapkan tidak melakukan aktivitas pembukaan lahan dengan cara pembakaran, terutama di musim kering seperti saat ini.

Selain itu pihak berwenang diminta untuk memonitor area-area yang rawan terbakar dan melakukan tindakan pencegahan lebih awal.

Menurut BMKG, upaya pencegahan karhutla di Kalbar perlu didukung oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, hingga perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan dan pertanian. Langkah-langkah preventif seperti patroli, edukasi masyarakat, serta penggunaan teknologi pemantauan titik panas, akan menjadi kunci untuk menghindari bencana kebakaran yang lebih luas.

Dengan lebih dari 4.000 titik panas terpantau hanya dalam waktu beberapa hari, Kalbar menghadapi risiko besar terhadap karhutla. Selain merusak ekosistem, kebakaran hutan dapat memperparah polusi udara yang berdampak negatif pada kesehatan masyarakat.

"Pemerintah daerah diharapkan bisa memperketat pengawasan terhadap aktivitas pembukaan lahan dan melakukan tindakan cepat untuk memadamkan api jika kebakaran terjadi. Kerja sama semua pihak sangat diperlukan dalam menghadapi ancaman ini. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang untuk mencegah kerugian yang lebih besar," kata Sutikno.

Baca juga: BMKG: Kemarau kali ini tak separah tahun lalu, masih ada potensi hujan

 

Pewarta: Rendra Oxtora
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024