Mataram (ANTARA) - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, menggelar sidang perdana empat terdakwa korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit (RS) Pratama Manggelewa, Kabupaten Dompu.

Majelis hakim yang mengadili perkara milik empat terdakwa korupsi proyek pembangunan pada tahun 2017 ini adalah I Ketut Somanasa sebagai ketua dengan anggota Irlina dan Irawan.

Jaksa yang hadir dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Kamis, yakni Budi Tridadi Wibawa, Fajar Alamsyah Malo, dan Muhamad Mauludin.

Dalam sidang perdana, jaksa menghadirkan secara bersama-sama empat terdakwa dan membacakan dakwaan yang menguraikan peran dan keterlibatan masing-masing terdakwa pada proses pekerjaan proyek yang telah menimbulkan kerugian keuangan negara tersebut.

"Bahwa pelaksanaan pekerjaan perencanaan pembangunan RS Pratama Manggelewa pada Dinas Kesehatan Dompu tahun 2017 telah dilaksanakan oleh pihak yang tidak memiliki kualifikasi sebagai konsultan perencana, yakni Fery alias Hery," kata Fajar Alamsyah Malo mewakili tim jaksa penuntut umum membacakan dakwaan.

Karena menggunakan perusahaan CV Fiscon yang berkontrak dengan pemerintah, Fery terungkap memberikan uang kepada pemilik perusahaan perencana tersebut, yakni Ika Taruna Sumarprayono sebesar Rp48,4 juta atau 3 persen dari total anggaran perencanaan.

"Sisanya (anggaran perencanaan) sebesar 97 persen diterima terdakwa Fery," ujarnya.

Selanjutnya, jaksa mengungkap peran Christin Agustiningsih sebagai direktur konsultan pengawas dari CV Nirmana Consultant. Dalam dakwaan, Christin turut menerima uang dari terdakwa Fery yang juga menjalankan tugas sebagai pelaksana pengawasan dari CV Nirmana Consultant di lapangan sebesar Rp49,9 juta.

"Bahwa terdakwa Fery dalam hal ini diketahui tidak pernah menjalankan tugas pengawasan memberikan 3 persen anggaran pengawasan kepada Christin sebesar Rp49,9 juta," ucap jaksa.

Ada peran Muh. Kadafi Marikar sebagai Direktur PT Sultana Anugrah asal Makassar yang memiliki kontrak dengan pemerintah sebagai pelaksana proyek.

Baca juga: Mantan Ketua KONI Kudus dituntut enam tahun penjara
Baca juga: Helena Lim jalani sidang perdana kasus dugaan korupsi timah


Jaksa menyampaikan bahwa Kadafi yang kini berkasnya tinggal menunggu pelimpahan ke pengadilan tersebut tidak pernah datang ke lokasi pekerjaan dan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kontrak.

Kadafi terungkap dengan sengaja mengalihkan pekerjaan tersebut kepada terdakwa Benny Burhanudin selaku pemodal dan tidak termasuk dalam personel inti pada PT Sultana Anugrah.

"Pelaksanaan pekerjaan menjadi tidak terkontrol dan tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang dipersyaratkan dalam kontrak," kata jaksa.

Sementara itu, peran terdakwa Maman sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) merangkap kuasa pengguna anggaran (KPA) dari Dinas Kesehatan Dompu telah dengan sengaja membiarkan pekerjaan proyek tersebut di bawah kendali Benny yang bukan bagian dari pihak yang berkontrak.

"Terdakwa Maman selaku PPK dan KPA juga telah dengan sengaja memproses pembayaran pekerjaan pelaksanaan dan pekerjaan pengawasan kepada orang atau pihak lain yang tidak sesuai dengan kontrak kerja," ucapnya.

Terdakwa Kadafi dalam menjalankan peran tersebut juga terungkap menerima upah dari pelaksanaan pekerjaan tersebut sebesar Rp200 juta atau 30 persen dari nilai keuntungan pekerjaan.

Persoalan korupsi muncul dari dakwaan jaksa yang menyatakan bahwa PT Sultana Anugrah milik Kadafi telah dengan sengaja mengurangi volume pekerjaan, seperti pemasangan batu kali, pekerjaan beton, pemasangan dinding, plesteran, acian, pengecatan, pekerjaan plafon, serta mutu beton dan balok struktur pada bangunan selasar.

Dampak dari pengurangan volume pekerjaan tersebut mengakibatkan kondisi bangunan berpotensi ambruk sesuai dengan hasil pemeriksaan tim ahli konstruksi dan geoteknik tanah dari Fakultas Teknik Universitas Mataram.

Akhir dakwaan, jaksa menyebutkan nilai kerugian keuangan negara yang muncul dari proyek sebesar Rp15,67 miliar sebesar Rp1,35 miliar.

Angka kerugian didapatkan dari hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.

Usai menguraikan dakwaan, jaksa mendakwa perbuatan empat terdakwa dengan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024