Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Sejak beberapa dekade terakhir, dunia seakan terbagi dengan dikotomi ekonomi utara (north) dan selatan (south) yang turut memunculkan dinamika geopolitik dan berimplikasi terhadap ekonomi dunia.

Kedua istilah tersebut, secara internasional, pertama kali dikenalkan oleh aktivis politik asal Amerika Serikat, Carl Oglesby pada 1969.

Istilah tersebut bisa juga merujuk nama lain, yakni Dunia Ketiga yang sebagian besar belum maju ekonominya karena berpenghasilan rendah atau negara yang masih berkembang, di luar wilayah Eropa dan Amerika Utara.

Meski kenyataannya tidak semua negara di belahan Bumi bagian selatan tergolong berpenghasilan rendah, Australia dan Selandia Baru, misalnya.

Wakil Menteri Luar Negeri RI Pahala Mansury menyebut negara-negara mengalami fragmentasi ekonomi, di antaranya lebih mengedepankan kepentingan sesuai kelompoknya.

Saat ini, eskalasi fragmentasi ekonomi berdampak terhadap tren penurunan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) secara global pada 2023 mencapai tujuh persen.

Begitu juga tren perdagangan global yang merosot pada tingkat yang hampir sama.

Dalam jangka panjang, fragmentasi ekonomi diperkirakan memicu variasi biaya dari hasil ekonomi global dengan estimasi sekitar empat persen.

Akibat dari tren itu, negara berkembanglah yang menanggung sebagian besar biaya dari fragmentasi ekonomi.

Menjawab tantangan global itu, pemerintah Indonesia menghadirkan Forum Indonesia-Afrika (IAF) Ke-2 dan Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multi-Pihak (HLF MSP) di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, 1-3 September 2024.

Agenda tersebut mengedepankan kerja sama saling menguntungkan negara-negara berkembang yang mayoritas berada di selatan global, termasuk di antaranya Afrika dan Indonesia.

Sesuai Semangat Bandung yang menjadi landasan sejak Konferensi Asia Afrika 1955, forum itu menjadi wadah merancang masa depan lebih berkelanjutan dan inklusif.

Forum tersebut menghasilkan kesepakatan bisnis mencapai 3,5 miliar dolar AS atau naik enam kali lipat dari pelaksanaan forum pertama pada 2018 yang mencapai 586,6 juta dolar AS.


Kaya SDA-SDM

Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyebutkan Afrika kaya akan sumber daya alam (SDA) yang terbarukan maupun yang tak terbarukan.

Benua terbesar kedua itu menyimpan sekitar 30 persen cadangan mineral dunia, delapan persen gas alam dunia, dan 12 persen cadangan minyak dunia. Tidak hanya itu, Afrika juga memiliki 40 persen emas dunia, hingga 90 persen kromium dan platina hingga cadangan kobalt, berlian, platina, dan uranium terbesar di dunia.

Tidak hanya dari sisi SDA, menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF), Afrika pada 2022 memiliki sekitar 1,3 miliar penduduk dengan proyeksi sekitar 60 persen di antaranya berusia di bawah 25 tahun.

Pada 2030 penduduk muda Afrika diproyeksi menjadi 42 persen dari pemuda secara global.

Kondisi SDA dan SDM Afrika tersebut memiliki kemiripan dengan Indonesia, termasuk sumber daya alam dan bonus demografi, yakni diperkirakan 70 persen penduduknya berusia produktif 15-64 tahun pada 2045.

Keduanya juga memiliki visi yang sama, yakni Agenda Afrika 2063 dan Visi Indonesia Emas 2045.


Inovasi hilirisasi

Guna memecah kekakuan dari kondisi geopolitik itu maka perlu inovasi agar berkah yang dimiliki negara berkembang tidak lantas menjadi seperti teori keuntungan komparatif.

Profesor ekonomi dari Universitas Indonesia Bambang Brodjonegoro mengibaratkan teori itu dengan aksi negara berkembang menjual bahan mentahnya kepada negara maju yang memiliki manufaktur wahid, kemudian hasil dari produksi itu dijual kembali dengan harga mahal kepada negara berkembang tersebut.

Menteri Keuangan 2014-2016 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) 2016-2019 itu mengungkapkan ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk memberikan nilai tambah kepada negara berkembang kaya SDA, yakni modal, teknologi dan sumber daya manusia.

Sejatinya sudah banyak negara di selatan global yang mendapatkan penanaman modal asing (PMA) dari negara maju dengan mengeksploitasi sumber daya alamnya.

Namun, kerja sama itu perlu dievaluasi agar tidak hanya menggali SDA semata, tapi membuat nilai tambah dengan melakukan penghiliran di negara tujuan (negara berkembang), seperti yang saat ini ditempuh pemerintah Indonesia, di antaranya untuk komoditas nikel.

Dengan begitu, makin banyak PMA yang bisa didatangkan untuk pengolahan komoditas tersebut, misalnya nikel diproses menjadi bijih nikel, nikel menjadi baja, dan bahan utama membuat baterai kendaraan listrik.

Kendaraan listrik pun saat ini menjadi salah satu tren jitu menumbuhkan ekonomi, namun lingkungan tetap terjaga karena menekan emisi karbon dari bahan bakar yang dikonsumsi kendaraan konvensional.
 

Arsip foto - Wakil Menteri Luar Negeri RI Pahala Mansury (ketiga kiri) menjadi salah satu pembicara pada sesi panel Forum Indonesia-Afrika (IAF) Ke-2 dan Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multi-Pihak (HLF MSP) di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (3/9/2024) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Teknologi dan investasi 

Kurangnya teknologi kerap dihadapi negara berkembang, padahal produktivitas erat kaitannya dengan dukungan lengkapnya sarana teknologi.

Untuk itu, negara di bagian selatan-selatan perlu mengadopsi teknologi agar produktivitas menggeliat yang dapat meningkatkan pendapatan negara dari ekonomi rendah menjadi menengah, kemudian dari menengah menjadi negara berpendapatan tinggi.

Upaya untuk mengadopsi teknologi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan rekayasa balik atau reverse engineering.

Tanpa adopsi teknologi, negara berkembang akan terus didominasi, bahkan terus menerima impor yang bahan mentahnya justru berasal dari negara berkembang itu.

Selain itu, negara perlu mengarahkan investasinya untuk membangun kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang ditujukan melalui infrastruktur digital dengan memastikan warganya bisa terkoneksi dengan internet.

Tanpa internet, SDM suatu negara bisa ketinggalan zaman, sehingga pengembangan SDM diarahkan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan mesin.

Studi tiru juga perlu dilakukan, salah satunya dengan mencermati Korea Selatan yang mengalokasikan anggarannya sekitar lima persen dari rasio produk domestik bruto (PDB) untuk riset dan pengembangan (RnD), sehingga menjadi komponen penting dalam pembangunan SDM.

Tentunya, dalam melakukan investasi ini tidak hanya mengandalkan pemerintah karena memiliki anggaran terbatas, namun melalui kolaborasi, di antaranya dari perguruan tinggi, korporasi, dan masyarakat.

Selain upaya tersebut, negara-negara berkembang juga memiliki potensi sebagai bagian dari rantai pasok global.

Untuk membalikkan fragmentasi ekonomi, perlu mengembangkan integrasi ekonomi dan menumbuhkan akses pasar lebih besar.

Negara berkembang juga harus berkolaborasi guna memastikan daya tahan rantai pasok mereka, di antaranya pangan, energi, kesehatan, dan mineral kritis.

Ada pun mineral kritis mempunyai kegunaan penting untuk perekonomian nasional dan pertahanan keamanan negara dan memiliki potensi gangguan pasokan dan tidak memiliki pengganti yang layak.

Indonesia mengelompokkan 47 mineral kritis, di antaranya nikel, tembaga, timah, kobal, fosfor, hingga besi.

Hal yang tidak kalah penting lainnya adalah sumber pendanaan agar ekonomi negara berkembang meningkat dan memastikan tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan.

Alih-alih terjerat hutang, negara perlu menempuh pendanaan inovatif, di antaranya yang bersumber dari pembiayaan campuran untuk pembangunan infrastruktur, riset dan pengembangan.

​​​​​​​

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024