Pada hari penertiban itu, mereka keluar. Setelah itu kadang beberapa minggu atau beberapa hari masuk lagi
Jakarta (ANTARA) - Saksi kasus dugaan korupsi timah, Agung Pratama mengungkapkan penambang timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk kerap kembali meski sudah ditertibkan oleh PT Timah maupun aparat penegak hukum (APH).
"Pada hari penertiban itu, mereka keluar. Setelah itu kadang beberapa minggu atau beberapa hari masuk lagi," ujar Agung selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah periode 2020-2021 dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Lantaran kerap kembali meski sudah ditertibkan, PT Timah pun membina para penambang timah ilegal tersebut menjadi mitra penambangan timah dengan syarat memiliki badan usaha berupa commanditaire vennootschap (CV) maupun perseroan terbatas (PT).
Ia menjelaskan penambangan timah ilegal berkelompok di wilayah IUP PT Timah terjadi secara masif pada tahun 2020. Kala itu, Divisi Pengamanan PT Timah sering menertibkan para penambang ilegal tersebut.
Apabila para penambang ilegal tetap kembali setelah ditertibkan, PT Timah pun biasanya melaporkan ke APH, salah satunya kepolisian di tingkat sektor (Polsek) hingga kepolisian daerah (Polda).
Namun, meski sudah ditertibkan oleh para APH, Agung menuturkan para penambang ilegal tetap kembali datang dan melakukan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah.
"Bahkan biarpun sudah ada yang ditahan, tetap ada lagi penambang ilegal yang datang," ucap dia.
Agung bersaksi dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015-2022.
Kasus itu antara lain menyeret Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PT Timah periode 2016-2020 Emil Ermindra, Direktur PT SIP MB Gunawan, dan Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim, sebagai terdakwa.
Riza bersama Emil didakwa telah mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah, sedangkan MB Gunawan didakwa melakukan pembelian bijih timah dari pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Baca juga: Dua petinggi smelter didakwa terima Rp4,1 triliun di kasus timah
Baca juga: Hakim tolak keberatan 2 eks Kadis ESDM terkait kasus korupsi timah
Baca juga: Kejagung masih pertimbangkan langkah terhadap putusan Toni Tamsil
Atas perbuatannya, ketiga terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.
Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.
Dengan demikian, perbuatan Helena diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.
Adapun perbuatan para terdakwa diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024