Saya tidak mau terkurung dalam pamor keindahan bahan...

Jakarta (ANTARA News) - Dari Semarang, Jawa Tengah, Anne Avantie melahirkan karya-karya luar biasa.

Di kampung halamannya yang jauh dari hiruk pikuk ibu kota DKI Jakarta, perancang bernama lengkap Sianne Avantie itu menghasilkan busana-busana yang dikenal di dalam dan luar negeri.

Namun ketenaran tidak membuat perancang yang terkenal dengan koleksi kebayanya itu terbang tinggi. Dia tetap memilih menjadi sederhana.

Penampilannya tidak glamor seperti busana-busana rancangannya. Dalam berbagai kesempatan, Anne hanya mengenakan atasan polos tanpa banyak detil dipadu celana hitam. Ia juga setia dengan rambut aslinya yang lebih sering disanggul dan diselipi bunga kamboja.

"Dari dulu penampilan saya tidak pernah berubah. Saya selalu seperti ini," kata Anne dalam acara Penganugerahan Kartini Next Generation (KNG) di Jakarta, Selasa (23/4).

Anne menuturkan bagaimana dia memulai karier yang sekarang sudah dia jalani selama hampir 25 tahun dari nol. Ia merangkak dari bawah.

Lahir sebagai anak ke-22 dari 24 bersaudara, Anne hanya sempat mengenyam pendidikan sampai sekolah menengah pertama.

Ia pernah merasa lahir dari keluarga yang salah. Ia pernah merasa memiliki banyak keterbatasan. Ia juga pernah mengalami kegagalan pernikahan. Tapi dia tidak mau larut dalam keterpurukan.

"Yang membuat saya yakin bahwa saya perempuan luar biasa karena keterpurukan itu tidak pernah saya nikmati, begitu juga dengan kekurangan saya. Kenapa saya harus menganggap ini keterbatasan? Saya tidak pernah merasa terbatas dengan pendidikan saya yang terbatas," ujar ibu dari tiga anak itu.

"Yang membuat saya yakin, ketika saya ingin membawa perubahan bukan karena suatu tujuan tetapi keinginan untuk berubah," tambahnya.

Dan Anne berhasil mengubah hidupnya.

Bakat menjahit yang ia peroleh dari ibunya, Amie Indriati, ia asah secara autodidak di rumah kontrakan dengan modal dua mesin jahit.

Ia kemudian membuka bengkel jahit sederhana bernama "Griya Busana Permatasari" dan menyewakan pakaian tari.

"Saya dari keluarga bermasalah, makanya saya tidak mau melahirkan anak-anak yang nanti ikut bermasalah. Saya pun berjuang ingin menjadi perempuan berarti, yang tidak hanya menjadi desainer saja," ujar istri dari Yoseph Henry itu.

"Indonesia melihat Anne Avantie sebagai perempuan biasa dengan segala kekurangan tetapi bisa berkompetisi," tuturnya.

Setelah menjadi orang di belakang layar yang banyak membuat kostum penari dan berbagai busana malam, Anne mencoba mengadu nasib ke Jakarta bersama rancangan busananya.

Usai melalui proses yang berliku, Anne kemudian dikenal sebagai desainer kebaya terbaik. Kebaya rancangannya tak hanya memikat penyuka fesyen Tanah Air, tapi juga masyarakat internasional.

Kini banyak orang meniru hasil karyanya. Namun Anne tidak mau ambil pusing. Anne memilih jalan damai dengan para plagiatnya.

"Justru dengan berdamai saya bisa menginspirasi orang lain. Tidak perlu klaim kalau ini karyaku," kata Anne.


Berdamai dengan keterbatasan

Anne sudah membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah hambatan. Keterbatasan justru menjadi cambuk untuk maju.

Bagi Anne, karier seorang perancang busana tidak bisa diukur dari sebuah ijazah dan ijazah seharusnya tidak menghalangi kemampuan seseorang.

"Saya menerima tukang jahit, tukang payet tanpa harus menyertakan ijazah. Karena karier fesyen seseorang tidak bisa dihalangi dengan hanya sebuah kertas," kata Anne.

Tanpa rasa sungkan, Anne menyebut dirinya tidak jauh dari kekurangan. Ia mengaku tidak lancar berbahasa Inggris dan tidak mengikuti kemajuan teknologi sehingga untuk menggunakan telepon pintar pun ia harus meminta bantuan asistennya.

"Kadang gapteknya saya justru menjadi rem bagi saya untuk membatasi ruang gerak agar lebih nyaman dalam bergerak," ujar perempuan berusia 49 tahun itu.

Keterbatasannya dalam mengikuti perkembangan teknologi justru membuat hasil karya Anne menjadi ekslusif dengan mempertahankan sentuhan tangan.

"Kalau karya handmade tanpa disentuh teknologi maka nilainya semakin tinggi. Karena menggunakan tangan jadi produksi saya tidak pernah bisa terlalu besar. Tetapi itulah seniman, kalau mau produksinya banyak bukan seniman tetapi pebisnis," kata Anne.

Secara blak-blakan ia pun mengaku tidak pernah dan tidak bisa membuat pola rancangan busananya. Semua idenya mengalir saat ia bereksperimen langsung pada bahan.

Ia biasanya langsung merancang busana dengan memasang bahan pada patung. Di situlah imajinasinya mengalir, menuntun tangan terampilnya menggunting serta menambahkan manik-manik dan detil lain pada karya busananya.

"Saya berkembang sebagai fashion designer alami, autodidak. Saya memiliki energi, yang saya punya energi yang mengalir yang menjadi modal utama. Yang saya lihat dari mata saya adalah garnis, saya merespon energi diri saya untuk melakukan sesuatu," terangnya.


Aktivitas sosial

Anne tidak hanya berkutat dengan dunia fesyen yang membesarkan namanya.

Tahun 2002, ia mendirikan rumah singgah bernama Wisma Kasih Bunda berkolaborasi dengan Rumah Sakit St. Elizabeth Semarang.

Wisma Kasih Bunda yang awalnya diperuntukkan bagi penderita hydrocephalus, kini juga memberi bantuan kepada penderita tumor, labiopalataschisis atau bibir sumbing, dan penderita cacat lainnya.

Ia juga aktif memberikan pelatihan ketrampilan dan kewirausahaan kepada berbagai kalangan, yang kemudian membuat dia mendapat penghargaan Kartini Award dan Indonesia Woman Able.

Anne, yang menghabiskan sebagian besar waktunya di Semarang, juga tetap menjalankan perannya sebagai seorang ibu dan istri, memasak di rumah dan berkumpul dengan keluarga.

Ia hanya pergi ke Jakarta setiap Sabtu dan Minggu. Ia selalu bepergian jauh menggunakan kereta karena takut naik pesawat.

Tapi dia tidak menganggap rasa takut itu sebagai keterbatasan. Dia justru bersyukur karena keterbatasan itu membuatnya selalu berada dekat dengan keluarga.

Anne juga bersyukur dua anaknya sukses menjalani profesi pilihan mereka meski tidak menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Anak pertamanya Intan Avantie meneruskan jejaknya menjadi desainer dan anak keduanya Ernest Christoga Susilo sudah menjadi koki ternama.

"Saya mohon doanya agar anak ketiga saya Ian Tadio Christago Susilo yang atlet basket bisa mempersembahkan ijazah SMA-nya untuk saya karena sampai sekarang saya belum pernah melihat ijazah SMA," kata Anne serta tertawa.

Oleh Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014