Jakarta (ANTARA) - Pendiri Rumah Demokrasi Ramdansyah mengharapkan adanya perlindungan hak suara pemilih tidak hanya di daerah dengan pasangan calon tunggal, tetapi juga di seluruh pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.

"Sehingga pilihan terhadap non-pasangan calon dalam surat suara menjadi sah," kata Ramdansyah dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Dia menyampaikan hal ini dengan pertimbangan pertama adalah jumlah pilkada yang diikuti oleh kotak kosong meningkat sampai hari ini.

Pada Pilkada 2018 terdapat 16 daerah dengan kotak kosong. Jumlah ini meningkat menjadi 25 daerah di tahun 2020.

Kemudian, jumlah kotak kosong di Pilkada 2024 meningkat menjadi 43 daerah bila sampai 4 September 2024 tidak ada yang mengusung pasangan calon ke KPU pada masa perpanjangan pendaftaran.

Di lain sisi, Ramdansyah melihat akomodasi pemberian suara “bukan kepada pasangan calon dalam surat suara” (none of above) dianggap sah mewakili kotak kosong perlu diapresiasi.

Adapun payung hukum keberadaan pasangan calon tunggal diakomodir di Pasal 54C UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota.

Teknis penentuan kemenangan calon tunggal diatur dalam Pasal 54D ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016.

"Di sana tertulis bahwa calon tunggal akan diakui menang apabila memperoleh paling sedikit 50 persen dari jumlah suara sah. Apabila kurang, maka pemenang adalah kotak kosong," ujarnya.

Dalam undang-undang ini, sambung Ramdansyah, calon yang dinyatakan gagal memiliki kesempatan untuk maju kembali pada pemilihan berikutnya.

Baca juga: KPU fasilitasi pemilih yang ingin pilih kotak kosong di surat suara

Baca juga: Perpanjangan masa pendaftaran calon perkecil munculnya kotak kosong

Baca juga: KPU: Calon tunggal yang kalah tidak boleh maju Pilkada berikutnya


Pilkada Kota Makassar 2018 membuktikan perlindungan konstitusional hak warga negara untuk memilih “bukan pasangan calon dalam surat suara”.

Selain itu, Rumah Demokrasi melihat bahwa fenomena kotak kosong perlu diperluas dan diakomodir tidak hanya di daerah dengan pasangan calon tunggal atau 43 daerah.

Mahkamah Konstitusi (MK) didorong untuk melindungi hak-hak pemilih di Pilkada Serentak 2024 yang tidak menginginkan memilih sejumlah pasangan calon yang diusung partai politik dan nantinya masuk dalam surat suara.

MK pun perlu menjamin kesetaraan pemilih seperti tertuang di Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".

Pertimbangan kedua, karena ada potensi rusak-nya demokrasi di Indonesia dengan dugaan keberadaan kartel politik yang memborong dukungan partai politik sebanyak-banyaknya.

"Publik mencurigai keberadaan koalisi partai politik yang awalnya hanya koalisi dari pasangan calon presiden terpilih melebar menjadi koalisi dengan partai-partai politik lainnya sebagai upaya untuk menjegal kontestasi sehat dalam demokrasi," jelas dia.

Meskipun putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 berhasil menurunkan ambang batas pencalonan dari semula 20 persen kursi atau 25 persen perolehan suara menjadi 6,5 persen, 7,5 persen, 8,5 persen dan 10 persen tetapi toh tetap saja keberadaan pasangan tunggal semakin besar.

Kalau kartel politik ini terus terjadi, maka pilkada ke pilkada berikutnya akan berpotensi meningkatnya calon tunggal di banyak daerah.

Pertimbangan ketiga, karena partai politik dalam mengusung calon kepala daerah cenderung tertutup. Mekanisme tertutup dilakukan dengan mengusung kader, teman, orang-orang yang memiliki kesamaan agama, daerah, suku, dan keluarga di kalangan elite partai.

Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024