Hal ini akan menjadi beban ekonomi bagi masyarakat, juga negara yang harus menanggung mahalnya harga obat di sistem kesehatan nasional

Jakarta (ANTARA) - Koalisi Obat Murah (KOM) mengatakan, RUU Paten yang tengah dibahas di DPR tidak hanya memperpanjang masa monopoli paten atas obat, tetapi juga mengurangi efektivitas dan efisiensi Pemerintah dalam mewujudkan akses masyarakat ke obat.

Dalam keterangan dari Indonesia for Global Justice (IGJ) di Jakarta Senin, Koordinator Program Isu Kesehatan IGJ sekaligus anggota KOM Agung Prakoso mengatakan, pihaknya menyayangkan proses penyusunan RUU Paten yang terkesan tertutup dan terburu-buru, juga tidak melibatkan publik, sehingga terdapat sejumlah pasal yang merugikan kesehatan publik.

"Akibatnya adalah RUU yang mengedepankan kepentingan bisnis dari pemegang paten dan mengabaikan hak-hak pasien," kata Agung.

Selain memberatkan publik, katanya, publik juga menilai bahwa RUU Paten akan memberatkan pemerintah, karena beban ekonomi seiring dengan menguatnya monopoli obat, yang berpengaruh pada anggaran kesehatan.

Menurutnya, Pemerintah dan DPR harus melihat bahwa terdapat kepentingan kuat dari perusahaan farmasi di dalam RUU ini. Hal ini akan menjadi beban ekonomi bagi masyarakat, juga negara yang harus menanggung mahalnya harga obat di sistem kesehatan nasional.

Dia merujuk pada penghapusan Pasal 93 mengenai lisensi wajib untuk produk farmasi. Sebelumnya, katanya, dalam UU No.13 tahun 2016 tentang Paten, lisensi wajib untuk produk farmasi dapat dikeluarkan oleh Menteri.

Akan tetapi, katanya, perubahan di RUU Paten mengarahkan lisensi wajib pada penggunaan paten oleh pemerintah.

Padahal, katanya, lisensi wajib untuk produk farmasi adalah cara melindungi negara, dari praktik monopoli oleh segelintir perusahaan farmasi.

Agung menjelaskan pula bahwa terdapat banyak kasus di mana perusahaan farmasi mendaftarkan paten hanya untuk mencegah pihak lain memanfaatkan paten tersebut. Sementara, di sisi lain, perusahaan farmasi pemegang paten tidak kunjung melaksanakan paten. Praktik itu dikenal dengan istilah patent blocking, yang merugikan masyarakat.

Peneliti Senior IGJ Lutfiyah Hanim menambahkan, RUU itu tidak hanya menghambat akses ke obat, tetapi juga memasukkan ketentuan-ketentuan yang tidak perlu, contohnya penambahan frasa baru terkait paten metode.

"Paten metode yang diatur dalam Pasal 19 Ayat 1 huruf c RUU Paten ini tidak dikenal dalam TRIPS, sehingga pada dasarnya tidak dibutuhkan untuk diatur di regulasi nasional," kata Lutfiyah.

Selain itu, katanya, klausul mengenai paten metode telah dimasukkan sedari dulu melalui UU Cipta Kerja yang prosesnya inkonstitusional dan tanpa keterlibatan dari publik.

Dalam pernyataan yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana mengatakan, ketentuan lisensi wajib adalah semacam pelindung dari praktik monopoli oleh perusahaan farmasi. Jika perusahaan farmasi melakukan blokade, katanya, maka produsen lokal dapat mengajukan lisensi wajib terhadap paten tersebut.

"Lisensi wajib juga dapat digunakan sebagai bargaining chip oleh negara karena perusahaan pemegang paten seringkali memberikan lisensi sukarela demi mencegah lisensi wajib oleh suatu negara," katanya.

IAC menilai bahwa penghapusan lisensi wajib untuk produk farmasi dengan tujuan memperluas dan reposisi ke penggunaan paten oleh pemerintah sebagai langkah yang tidak tepat.

"Lisensi wajib untuk produk farmasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 93 UU Paten penting untuk tetap ada demi melengkapi upaya-upaya lain yang dapat ditempuh demi mendorong akses ke obat," kata Aditnya.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024