Pasalnya, pameran memiliki pendekatan yang berbeda karena publik bisa langsung menggunakan panca indranya untuk mencermati produk khas Indonesia yang dijual.
Apalagi pameran itu digelar di tengah agenda khusus berskala internasional yang banyak dihadiri peserta dari berbagai negara dan beragam latar belakang, maka secara tidak langsung mengena ke target pasar kelas tinggi di antaranya pejabat atau petinggi negara.
Pemerintah Indonesia pun mengajak para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dari berbagai daerah berpameran serangkaian Forum Parlemen Indonesia Afrika (IAPF), High Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF MSP) dan Forum Indonesia Afrika (IAF) ke-2 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali.
Kesempatan emas itu pun menjadi momentum pelaku UMKM terpilih untuk “unjuk gigi” menampilkan karya terbaiknya kepada segmentasi konsumen khusus itu.
Diversifikasi pasar
Pemerintah memberikan ruang yang besar kepada pelaku UMKM untuk menampilkan produknya pada forum Indonesia-Afrika dengan mendirikan pameran yang menampilkan 15 pelaku UMKM dari berbagai daerah.
Pameran itu digelar di beberapa titik yang menjadi lokasi utama serangkaian pertemuan Indonesia-Afrika yang dipusatkan di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali pada 1-3 September 2024.
Mereka adalah pelaku usaha binaan sejumlah instansi di Tanah Air yang menampilkan produk unggulan untuk menarik atau mencari mitra bisnis dari Afrika sebagai pasar potensial.
Produk yang mereka produksi di antaranya furnitur atau mebel, fesyen, kerajinan hingga makanan olahan.
Pelaku UMKM Made Suardita menjadi wirausaha lokal asal Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali yang beruntung bisa menampilkan karyanya kepada para delegasi serangkaian acara besar di panggung Indonesia dan Afrika itu.
Ia terpilih setelah melalui kurasi dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekrasnasda) Provinsi Bali.
Suardita yang merupakan UMKM binaan Dekranasda Bali sejak 2005 itu menampilkan perhiasan atau aksesoris berbahan perak dengan kadar 92,5 persen.
Pelaku usaha muda itu menyiapkan produk aksesoris selama dua minggu sebelum pelaksanaan forum itu.
Aksesoris berupa gelang, kalung, bros dan cincin menjadi perhatian para delegasi karena memiliki keunikan berupa ukiran khas Bali dengan motif flora dan fauna misalnya bunga kamboja, cempaka, kemudian fauna burung garuda.
Harga pun bervariasi tergantung model dan ukuran, mulai dari ratusan ribu hingga yang paling mahal bros dengan ukiran garuda Rp2-3 juta.
Untuk memudahkan pembayaran, ia pun menyediakan fasilitas pembayaran berbasis digital QR Code.
Ia mengaku beruntung bisa memamerkan produk kerajinan tersebut kepada para delegasi yang termasuk pasar baru dari negara-negara di Afrika.
Pasalnya, saat ini segmentasi pasar masih berasal dari dalam negeri di antaranya dari Jakarta, Bandung dan Surabaya serta pasar wisatawan asing yang khusus mengunjungi ke tempat usahanya di Sukawati, Gianyar.
“Afrika itu pasar yang baru, setidaknya produk kami dikenal dulu dan ini kesempatan yang besar untuk memperluas pangsa pasar,” kata Suardita yang mengenakan busana adat Bali ketika memamerkan produk aksesorisnya.
Peluang RI di Afrika
Selain UMKM, ada juga sebanyak 103 perusahaan dan 139 pebisnis dari Afrika serta 350 pebisnis dari Indonesia yang berpartisipasi mendirikan eksebisi di forum tersebut.
Dalam pemeran itu ditampilkan empat sektor unggulan yakni energi, makanan dan barang konsumsi, industri strategis dan pertahanan, serta kesehatan oleh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta Indonesia.
Forum Indonesia-Afrika itu merupakan perhelatan yang kedua setelah perdana diadakan pada 2018.
Kementerian Luar Negeri RI mencatat ajang itu memberi ruang ekspansi kerja sama ekonomi dengan total nilai komitmen kolaborasi Indonesia dengan negara-negara di Afrika mencapai 3,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp54,3 triliun dengan asumsi nilai kurs Rp15.520.
Nilai itu meningkat dibandingkan pelaksanaan pada ajang yang pertama mencapai 568 juta dolar AS atau setara Rp8,8 triliun.
Indonesia dan Afrika memiliki peluang besar untuk menjalin kerja sama, baik tataran pemerintah hingga pelaku bisnis karena masih banyak area yang belum tersentuh untuk menjalani sinergi.
Padahal dari segi ekonomi, negara-negara di benua terbesar kedua di dunia itu memiliki pertumbuhan ekonomi positif dan ditopang sumber daya alam termasuk energi terbarukan yang melimpah.
Menurut Bank Pembangunan Afrika, ekonomi Afrika diperkirakan tumbuh positif sebesar 3,7 persen pada 2024, dan 4,3 persen pada 2025. Begitu juga ekonomi Indonesia yang diproyeksikan sebesar 5,3 persen pada 2024 dan 5,2 persen pada 2025.
Kesamaan Indonesia-Afrika
Indonesia dan Afrika, dua kawasan yang memiliki kesamaan tak hanya segi budaya tapi juga dari sisi sumber daya manusia. Kedua kawasan itu juga sama-sama memiliki penduduk usia produktif yang potensial.
Afrika memiliki populasi anak muda diperkirakan menyumbang sekitar 42 persen dari seluruh populasi pemuda di dunia pada 2030.
Sedangkan Indonesia, pada 2045 diperkirakan juga mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk usia produktif yakni usia 15-64 tahun mencapai 70 persen.
Kesamaan lainnya kedua kawasan sama-sama ingin meningkatkan geliat ekonominya yakni Indonesia melalui visi Indonesia Emas 2045 yang ditargetkan menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Afrika juga memiliki target mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi melalui Agenda 2063.
Untuk itu, potensi ekonomi keduanya diharapkan dapat diakselerasi mencermati peluang besar antara Indonesia dan Afrika sebagai mitra yang potensial.
Pemerintah dan pelaku usaha termasuk UMKM saat ini perlu melakukan ekspansi pasar selain pasar tradisional yang selama ini sudah terjalin.
Geliat positif dari pertumbuhan ekonomi kedua kawasan dapat menjadi salah satu pertimbangan penting untuk membuka akses pasar baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Tentunya, potensi itu juga perlu didukung dengan promosi, baik memanfaatkan teknologi atau cara konvensional, harmonisasi regulasi, peningkatan akses hingga kemudahan kepada UMKM khususnya yang berorientasi ekspor.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024