Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rusydan Fathy menekankan atraksi budaya di desa wisata seyogyanya harus terinternalisasi dengan kebudayaan masyarakat setempat, bukan kebudayaan pesanan (by-order) untuk sekadar ditampilkan.

Dalam diskusi bedah buku berjudul "Desa Wisata" karya Nurdiyansah Dalidjo yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin, Rusydan menilai pariwisata yang ada di desa wisata harus memiliki pondasi narasi lokal yang kuat serta prinsip-prinsip kooperativisme, karena desa wisata melekat pada entitas utuh dan milik warga bersama.

"Di desa wisata, atraksi seharusnya tidak mengalami manipulasi," kata Rusydan sekaligus mengutip perkataan penulis buku tersebut.

Rusydan menjelaskan kebudayaan by-order juga memiliki sisi negatif, yakni dapat mengurangi kesakralan dan bisa menyebabkan budaya tersebut menjadi punah, karena tidak terinternalisasi dan hanya diketahui oleh orang yang sering mementaskannya.

Contohnya, papar dia, seperti filosofi "Adat basandi sarak, sarak basandi Kitabullah" di Sumatera Barat yang pada situasi tertentu, hanya menjadi identitas simbolis dan jargon yang memiliki nilai jual, tetapi minim kesakralan dan tidak terinternalisasi.

"Kebudayaan by-order merupakan kondisi di mana kebudayaan tersimplikasi menjadi atraksi budaya yang dipesan turis. Pada satu sisi, merupakan daya tarik yang harus ditampilkan, tetapi di sisi lain tidak melekat pada masyarakatnya sendiri," ujarnya.

Oleh karenanya, Rusydan menekankan desa wisata semestinya tidak muncul karena tekanan komodifikasi menjadi komoditas pandangan wisatawan atau tourist gaze, dan hanya menjadi sekadar destinasi wisata.

Namun menurut dia, desa wisata harus dapat menciptakan ikatan emosional dan personal dengan wisatawan, agar wisatawan bisa mendapatkan pengalaman utuh saat memutuskan kunjungi desa wisata.

Hal tersebut, kata dia, bisa diwujudkan dengan implementasi paket wisata yang sesuai, yang melibatkan wisatawan untuk terjun ke dalam aktivitas warga sebagai strategi untuk memperpanjang kunjungan wisatawan, sebagai upaya menciptakan ikatan antara wisatawan dengan desa wisata yang berkelanjutan.

"Entitas desa wisata yang apa adanya, meliputi gejala dan permasalahan lokal, kebudayaan dan tradisi, kearifan lokal, sistem dan struktur ekonomi-sosial, semestinya menjadi daya tarik dan berujung pada keterikatan wisatawan dan kerinduan mengulangi kunjungan," tutur Rusydan.

Baca juga: Dispar Denpasar latih pemasaran digital pengelola desa wisata

Baca juga: Krebet Bantul meraih penghargaan sebagai desa wisata terbaik di DIY 

Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024