Berlanjutnya deflasi pada Agustus dipengaruhi oleh penurunan harga beberapa bahan makanan, terutama bawang merah, daging ayam, telur ayam, dan cabai merahJakarta (ANTARA) - Indeks Harga Konsumen (IHK) Agustus 2024 diperkirakan turun atau mengalami deflasi bulanan sebesar 0,02 persen secara month on month (mom), melanjutkan tren deflasi yang telah terjadi selama tiga bulan sebelumnya.
"Berlanjutnya deflasi pada Agustus dipengaruhi oleh penurunan harga beberapa bahan makanan, terutama bawang merah, daging ayam, telur ayam, dan cabai merah,” kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.
Josua mengatakan, secara keseluruhan, IHK kelompok bergejolak diperkirakan akan mencatatkan deflasi sebesar 1,20 persen mom.
Meskipun demikian, deflasi kelompok bergejolak diperkirakan tertahan oleh kenaikan biaya pendidikan karena tahun ajaran baru dan keputusan Pertamina untuk menaikkan harga Pertamax atau bahan bakar non-subsidi.
Pertamina menaikkan harga Pertamax dari Rp12.950 menjadi Rp13.700 per liter, meningkat 5,79 perse yang berlaku efektif mulai 10 Agustus.
“Perhitungan kami menunjukkan bahwa kenaikan harga ini dapat memberikan kontribusi sekitar 0,04 - 0,05 persen, dengan mempertimbangkan dampak putaran pertama saja,” ujarnya.
Ia memproyeksikan bahwa IHK kelompok inti dan kelompok harga yang diatur pemerintah akan mengalami inflasi bulanan masing-masing sebesar 0,18 persen mom dan 0,28 persen mom.
Dengan demikian, inflasi year-to-date dari Januari hingga Agustus 2024 diperkirakan akan berkisar 0,87 persen, jauh lebih rendah daripada 1,53 persen yang tercatat untuk periode yang sama tahun lalu.
Sementara laju tahunan dari inflasi umum pada Agustus 2024 diproyeksikan akan cenderung stabil di kisaran 2,13 persen secara year on year (yoy). Sementara itu, inflasi inti diprediksi akan meningkat tipis menjadi 1,97 persen yoy dari 1,95 persen pada bulan sebelumnya.
Laju tahunan inflasi harga yang diatur pemerintah juga diperkirakan naik menjadi 1,92 persen yoy, dari 1,47 persen yoy pada bulan sebelumnya, didorong oleh penyesuaian harga non-subsidi.
Sebaliknya, inflasi bergejolak diproyeksikan menurun menjadi 2,23 persen yoy dari 3,63 persen yoy, karena harga pangan secara keseluruhan terus menurun.
“Kami memperkirakan inflasi akan tetap berada dalam kisaran target 1,5 hingga 3,5 persen untuk tahun ini,” tutur Josua.
Menurut dia, pada semester kedua, tekanan inflasi kemungkinan akan tetap rendah, terutama jika pemerintah memilih untuk menunda penerapan cukai plastik dan minuman kemasan berpemanis untuk meningkatkan daya beli dan pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, risiko imported inflation diproyeksikan akan tetap terkendali apabila pergerakan rupiah ke depannya cenderung stabil setelah dalam dua bulan terakhir mengalami tren penguatan terhadap dolar AS.
“Penguatan nilai tukar rupiah ini didukung oleh potensi penurunan suku bunga The Fed, yang dapat meningkatkan sentimen risk-on dan menarik aliran modal asing masuk ke pasar keuangan domestik,” katanya.
Selain itu, tekanan inflasi dari harga energi global, yang sebagian besar dipengaruhi oleh ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah, dapat dimitigasi oleh risiko penurunan permintaan global.
Ia memproyeksikan tingkat inflasi pada 2024 sekitar 2,33 persen dibandingkan 2,81 persen pada 2023. Proyeksi inflasi yang lebih rendah itu dapat memungkinkan Bank Indonesia untuk menurunkan BI-Rate sebagai respons terhadap penurunan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.
Baca juga: IHSG berpeluang menguat terbatas di tengah rilis inflasi domestik
Baca juga: Indef nilai deflasi RI perlu dicermati dengan baik
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2024