Jakarta (ANTARA) -
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengajak media untuk menggencarkan edukasi dan pemahaman secara intensif kepada masyarakat mengenai bahaya eksploitasi air tanah secara berlebih.
 
"Kita perlu terus disadarkan agar tidak terlalu mengandalkan air tanah. Namun, masyarakat juga perlu segera dicarikan solusi agar muncul kesadaran, antara lain lewat penetrasi media," ujar Ketua Lembaga Informasi, Komunikasi, dan Publikasi (LTN) PBNU Ishaq Zubaedi Raqib dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
 
Ishaq mengatakan bencana alam mengintai manusia setiap saat akibat sumber daya yang tidak dikelola dengan benar. Salah satu sumber daya tersebut ialah air tanah yang menjadi konsumsi utama manusia.
 
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan air tanah dilakukan secara berlebihan hingga mengakibatkan penurunan tanah lalu menimbulkan bencana ekologis.
 
Eksploitasi air tanah juga terlihat ketika sejumlah pihak membangun komplek-komplek perumahan. Ribuan unit rumah yang terbangun diikuti oleh penggalian sumur untuk mendapatkan air tanah.

Jika dalam satu komplek terdapat 10.000 unit rumah, maka akan tergali sumur bor sebanyak 10.000 sumur.


Baca juga: Peneliti soroti kerusakan DAS akibat tak peduli konservasi tanah & air
 
Berkaca pada hal tersebut, Ishaq mengajak media agar tidak bosan-bosan mengedukasi dengan berbagai bentuk publikasi, baik grafis, tulisan, maupun video terkait krisis ekologis yang disebabkan oleh penggunaan air tanah yang berlebihan.
 
"Bagi media-media, penting memberi pemahaman secara terukur, terpola dan masif kepada publik," kata dia.
 
Sementara bagi PBNU, penting membangun kesadaran lewat pintu agama, misal pendekatan hukum fikih.
 
Sehingga hal ini bisa jadi panduan bagi tokoh-tokoh agama dalam memberi pemahaman terkait krisis lingkungan, yang bisa jadi problem dalam beribadah.
 
"Dalam komplek perumahan, ketika air dari sumur berdekatan dengan septiktank, itu potensial mengundang bakteri negatif seperti Escherichia coli atau E. coli," ujar dia.
 
"Bakteri ini potensial mengubah status air yang awalnya air mutlak (suci dan menyucikan), bisa tidak mutlak lagi. Sifatnya suci saja, tetapi tidak menyucikan, karena perubahan warna, rasa, dan bau," kata dia menambahkan.
 
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan masyarakat terkait korelasi dampak buruk pengambilan air tanah berlebihan bagi lingkungan, karena dapat memicu penurunan tanah atau land subsidence.
 
Dari hasil penelitian BRIN, kenaikan muka air laut yang akibat dampak perubahan iklim, terjadi sekitar 3-10 milimeter per tahun. Fenomena tersebut juga membuat bangunan menjadi miring sehingga merugikan secara ekonomi.

 

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024