Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani menegaskan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) mendesak (urgent) untuk dilakukan dalam rangka memberikan pengakuan dan perlindungan hukum pada PRT.
“Ini sejalan dengan dasar negara kita. Undang-Undang Dasar 45 juga menegaskan bagaimana kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini (RUU PPRT) juga perlu memastikan keadilan juga bisa diberikan aksesnya kepada mereka, kelompok yang paling rentan,” kata Tiasri dalam webinar di Jakarta, Sabtu.
Dia mengatakan, Indonesia memang sudah memiliki payung hukum ketenagakerjaan. Namun regulasi yang telah ada, ujar Tiasri, tidak mampu menjangkau pengakuan dan pelindungan pada pekerja-pekerja sektor informal, salah satunya adalah pekerja rumah tangga (PRT).
Menurut dia, pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT akan berdampak pada perubahan positif pada situasi pembangunan dan peningkatan ekonomi perempuan yang lebih luas. Hal ini mengingat pekerjaan-pekerjaan di ranah publik banyak ditopang oleh PRT.
Dia mencontohkan, masyarakat yang bekerja atau berkarier secara formal tidak bisa melepaskan kerja rumah tangga di tengah kesibukannya sehingga pengurusan rumah tangga juga menjadi persoalan yang serius bagi mereka. Hal ini, pada akhirnya, diatasi oleh para PRT.
Baca juga: Komisi VIII: RUU PPRT harus dibahas proaktif lagi agar segera disahkan
“Hal ini bisa teratasi dengan adanya PRT. Sehingga peran PRT di dalam pembangunan dan perluasan kesempatan kerja ini juga sangat berkontribusi,” jelas dia.
Belum lagi, imbuh Tiasri, para PRT yang bekerja di luar negeri di mana kontribusi mereka terhadap devisa cukup banyak. Jika perlindungan PRT dalam negeri belum terwujud, hal ini juga bisa membuat rentan pekerja migran yang bekerja di sektor rumah tangga karena Indonesia tidak memiliki posisi tawar untuk memastikan perlindungan PRT yang berada di luar negeri.
Selain memberikan pengakuan dan perlindungan hukum pada PRT, Tiasri mengatakan bahwa pengesahan RUU PPRT juga turut mendukung percepatan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2017.
Pengasahan RUU PPRT juga sejalan dengan Pasal 5 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 yang memandatkan bagaimana pemenuhan hak asasi manusia (HAM) tentang kesetaraan bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pelindungan hak asasi dan kebebasan dasar manusia.
Tiasri juga mengatakan, pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT akan membuat mereka diakui sebagai pekerja dan akan meminimalisir kekerasan, eksploitasi, tindak pidana perdagangan orang, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya.
Di samping itu, pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT juga berarti mengakui nilai ekonomi dari kerja-kerja yang diidentikkan sebagai kerja perempuan serta memberi pelindungan relasi kerja dan kepastian hukum terhadap kedua belah pihak antara PRT dan pemberi kerja.
“Saat ini kita melihat adanya kekosongan hukum untuk pelindungan PRT. Kita melihat kekosongan itu di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tidak memuat ketentuan pengakuan dan pelindungan PRT,” tegas Tiasri.
Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan bahwa bola panas RUU PPRT ada di tangan pimpinan DPR RI sebab Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) dan menunjuk perwakilan pemerintah untuk membahasnya bersama DPR.
Pada Maret 2023, DPR RI telah menetapkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR. Presiden juga telah mengirimkan daftar inventaris masalah (DIM) RUU PPRT ke pimpinan DPR dan menunjuk kementerian yang mewakili pemerintah untuk melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR.
Baca juga: Eks Komisioner Komnas Perempuan: Problem kultural PRT sangat sistemik
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024