Jakarta (ANTARA News) - Peraturan dan perundangan mengenai keuangan negara selama ini masih menjadi penghambat rencana memanfaatkan dana APBN untuk membiayai pembangunan jalan tol. "Padahal di negara lain untuk ruas tol yang memiliki nilai ekonomi tinggi tetapi secara finansial belum menarik untuk ditawarkan kepada investor maka pembiayaan seharusnya menjadi kewajiban pemerintah," kata Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, akhir pekan ini. Dia mencontohkan, tol Cileunyi - Sumedang - Dawuan atau dikenal Cisundawu yang sudah dua kali berturut-turut dalam tender batch (tahap) I dan II tidak juga diminati investor dalam maupun luar negeri. Menurut Menteri PU, dari tingkat pengembalian investasi atau dikenal sebagai Internal Rate of Return (IRR) sebenarnya Cisundawu sangat menjanjikan di atas 20 persen, akan tetapi dari segi finansial masih dianggap belum layak. Berdasarkan perhitungan investor antara jumlah kendaraan yang setiap harinya melintasi kawasan tersebut (Lalulintas Harian Rata-Rata, LHR) belum sebanding dengan investasi yang ditanamkan untuk ruas tersebut, kalau disesuaikan tarifnya akan sangat mahal, kata Menteri PU. Menteri PU mengatakan, untuk ruas-ruas tol yang semacam ini seharusnya dana pemerintah dapat masuk ke sana dengan memanfaatkan APBN hanya saja untuk melaksanakan hal itu Menteri Keuangan belum dapat melaksanakan karena terbentuk peraturan dan perundangan. Terkait dengan hal itu, Menteri PU telah mengusulkan melalui Wakil Presiden untuk ruas-ruas tol semacam ini untuk menyiapkan mekanisme pencairan dana APBN untuk membiayai jalan tol. Apalagi dalam pembiayaan ini, ada peran serta (sharing) anggaran dengan pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten untuk membiayai pengadaan lahannya. Tujuan pemerintah daerah untuk ikut serta dalam pembiayaan dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan ekonomi di kawasan tersebut. Menteri PU menyatakan keyakinan, apabila Tol Cisundawu dibangun maka dapat menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi antara Selatan dan Utara Pulau Jawa yang selama ini untuk wilayah Selatan relatif tertinggal.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006