Yogyakarta (ANTARA) - Suara gesekan sapu lidi dan daun-daun bambu kering yang saling bertabrakan memecah heningnya hutan yang berlokasi di sisi utara Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Seolah saling mengenal, sekawanan burung yang hinggap di sekitar hutan asri itu tetap melanjutkan kicauan merdu, tanpa terusik aktivitas Sri Hartini (56), pagi itu.

Seperti hari-hari biasa, Sri selalu menyambangi Hutan Wonosadi yang terletak di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, D.I Yogyakarta, yang berjarak sekitar 300 meter dari rumahnya.

Meski pagi itu kaki Sri terasa agak nyeri, ibu dua anak itu tidak mau absen menunaikan tugasnya.

Setelah mengenakan jilbab dan memakai sepatu slop berwarna hitam, Sri bergegas mengambil sapu lidi yang tersandar di depan rumah, lalu berangkat ke hutan sebelum terik.

Setibanya di hutan, aktivitas pertama yang ia lakukan adalah menyapu ranting atau daun-daun bambu kering yang berserakan, mulai dari anak tangga pertama, dan berlanjut ke anak tangga berikutnya yang berjumlah 400 di hutan dengan struktur tanah menanjak itu.

Pada pintu masuk hutan terdapat gapura besar bercat hitam putih, dengan tulisan "Taman Kehati Wonosadi" menggunakan aksara jawa di sisi kanan dan kiri.

Sembari mebersihkan sampah daun-daun kering, Sri sesekali melemparkan pandangan ke segala penjuru hutan guna memastikan tidak ada pencuri kayu.

"Sampah-sampah (daun kering) untuk saya timbun di bawah pohon itu, biar nanti menjadi pupuk untuk tanaman," ujar Sri sambil terus melanjutkan menyapu, ketika dijumpai ANTARA.

Kadangkala ia menemukan spesies tumbuhan baru, yang kemudian ia rawat dan ditempatkan tersendiri di area hutan itu.

Tidak jarang, monyet maupun ular tiba-tiba muncul di hadapannya, namun hal semacam itu sudah biasa dan tidak mempengaruhi aktivitasnya.

Rutinitas di hutan yang tanahnya berstatus Sultan Ground (SG) atau milik Keraton Yogyakarta itu telah ia lakoni secara konsisten selama belasan tahun, tanpa pamrih.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Gunungkidul Harry Sukmono menyebut pelestarian Hutan Adat Wonosadi amat penting sebagai salah satu kawasan konservasi air, tumbuhan, dan satwa di kabupaten itu. 

Pemkab mengapresiasi konsistensi warga setempat yang mampu menjaga ekosistem hutan, sembari merawat adat budaya secara bersamaan dengan kearifan lokal yang terbangun. 

Pemkab menyadari bahwa memang diperlukan partisipasi masyarakat di satu kawasan dengan ikut memelihara dan mengawasi aktivitas yang ada di lokasi itu, sehingga tidak terjadi kerusakan, gangguan, dan sebagainya. 

Sebagai bentuk dukungan, DLH Gunungkidul telah memfasilitasi pelatihan dan pendampingan bagi warga di Dusun Duren dan Sidorejo, khususnya bagi para Jagawana, bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), termasuk mendesain kawasan hutan menjadi Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati). 

Dukungan infrastruktur juga turut difasilitasi oleh DLH bersama Dinas Pariwisata Gunungkidul, meliputi bangunanan gapura, akses jalan berwujud ratusan anak tangga, hingga pembuatan taman di bagian pintu masuk Hutan Adat Wonosadi. 

Meskipun tanpa upah tetap, warga yang menjaga kelestarian hutan itu telah memperoleh manfaat berupa jasa pemanfaatan air serta dapat pula mengoptimalkan potensi ekowisata di kawasan itu.


Sri Hartini (56) saat membersihkan sampah di Hutan Adat Wonosadi di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, D.I Yogyakarta (ANTARA/Luqman Hakim)
Menjaga mata air

Bagi Sri, Hutan Adat Wonosadi telah memberikan berlimpah anugerah untuk warga sekitar, sehingga ia merasa perlu terus menjaga kelestariannya secara tulus.

Anugerah itu, antara lain keberadaan tiga mata air yang tidak pernah berhenti mengalir, bahkan saat musim kemarau. Ketiganya adalah mata air Kalas, Pok Blembem, dan Rasah.

Setelah menyibak semak-semak hutan dengan jalan setapak yang terjal, ia kemudian menunjukkan lokasi pipa besi yang menghubungkan aliran dari mata air ke sebuah bak penampung raksasa dari beton.

Nyaringnya gemericik air dari lubang penampung raksasa itu menandakan derasnya aliran mata air itu.

Dari penampungan itu, air disalurkan ke rumah-rumah warga melalui pipa-pipa. Setidaknya 200 kepala keluarga (KK) di Dusun Duren dan Dusun Sidorejo merasakan manfaatnya hingga kini.

Kemarau biasanya banyak warga Gunungkidul kesulitan air, tapi di dusun itu tidak pernah.

Mata air jernih yang masih terus terjaga dan belum pernah mengering itu tidak lepas dari perjuangan Sudiyo, ayahanda Sri Hartini.

Puluhan tahun sebelumnya, hutan itu tidak sehijau saat ini. Pada rentang 1965 hingga 1966, hutan itu pernah rusak parah akibat pembalakan liar.

Sekelompok orang tidak bertanggung jawab dengan serakah menebang pohon dan menjual kayu-kayu, sehingga hutan nyaris gundul dan hanya menyisakan empat pohon asam jawa.

Karena saking tandusnya, Sri mengisahkan, kala itu batu-batu kerap menggelinding berjatuhan dari hutan yang berlokasi di perbukitan kecil di Dusun Duren.

Melihat kondisi hutan yang memprihatinkan, Sudiyo berinisiatif menanam pohon secara mandiri.

Kendati sempat ditertawakan dan tidak memperoleh dukungan dari warga sekitar, Sudiyo tetap teguh melanjutkan ikhtiarnya tanpa pamrih.

Sri Hartini yang saat itu masih belia kerap diminta mengirim makanan untuk Sudiyo di hutan.

Untuk menghijaukan Wonosadi butuh proses dan perjuangan yang sangat panjang, bahkan itu perjuangan yang sangat luar biasa.

Setelah lambat laun kembali menghijau dan memunculkan mata air, warga desa setempat tersadar, sehingga ikut membantu menjaga dan melestarikan.

Cerita perjuangan Sudiyo itu ternyata sampai ke telinga M.S Kaban, Menteri Kehutanan era Kabinet Indonesia Bersatu, yang kemudian mengganjar penghargaan Sudiyo sebagai pelestari hutan pada 2009, dengan hadiah memberangkatkan umrah ke Tanah Suci.

Setelah Sri Hartini beranjak dewasa, Sudiyo berpesan kepadanya untuk terus melanjutkan perjuangan merawat hutan tanpa mengharap imbalan.

Sudiyo berpesan agar Sri tidak meninggalkan air mata, tapi mewariskan mata air untuk anak cucu, kelak.
 

Sri Hartini (56) menunjukkan penampungan air di Hutan Adat Wonosadi di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, D.I Yogyakarta (ANTARA/Luqman Hakim)
Rumah flora-fauna

Sri Hartini, kini tidak sendirian. Aktivitas menjaga hutan itu ia lakukan bersama warga lain yang tergabung dalam Kelompok Jagawana secara bergantian.

Sejak 2011, ia didapuk sebagai ketua Jagawana yang beranggotakan 25 orang.

Sebagai satu-satunya perempuan, ia dipercaya memimpin kelompok itu lantaran dianggap pemegang estafet perjuangan bapaknya.

Hutan Adat Wonosadi yang terletak di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas total 25 hektare.

Lima hektare dari hutan itu difungsikan sebagai Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 03 Tahun 2012 tentang Taman Keanekaragaman Hayati.

Di area lima hektare itulah, Sri bersama Jagawana beraktivitas, termasuk menanam aneka tanaman buah yang disiapkan sebagai santapan satwa liar di hutan itu.

Di hutan dengan bentang lahan pada ketinggian antara 136 -189 Mdpl itu, hidup beragam jenis satwa liar, mulai dari kera ekor panjang, biawak, aneka ular, reptil, serta berbagai spesies burung, seperti burung elang berontok, burung pelatuk bawang, burung bubut, hingga kakatua.

Tanaman bunga maupun obat juga tumbuh subur di hutan itu, termasuk tanaman kategori langka, seperti jamblang (Eugenia cumini), kepuh (Sterculia foetida), huru sintok (Cinnamomum sintoc), pulai (Alstonia scholaris), hingga wuni (Antidesma bunius).

Selain bertugas menjaga keamanan dan kelestarian hutan, Jagawana merangkap peran sebagai pemandu bagi para peneliti atau berbagai pihak yang ingin mengeksplorasi hutan itu.

Sri pun tidak jarang diminta bantuan menunjukkan jenis-jenis tumbuhan oleh para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang meneliti hutan itu.

Kalau dengan mahasiswa atau peneliti-peneliti, dia bisanya menggunakan bahasa lokal, kemudian para mahasiswa itu yang mencari nama-nama latinnya.
​​​

Hutan Adat Wonosadi di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, D.I Yogyakarta (ANTARA/Luqman Hakim)
Kesenian rinding

Hutan Adat Wonosadi tidak sekadar menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi aneka flora dan fauna. Hutan itu tidak bisa dilepaskan dari adat dan kesenian lokal yang hingga kini terus dijaga oleh warga.

Sadranan adalah upacara adat yang tidak pernah absen dilaksanakan di lembah Ngenuman di tengah hutan itu setahun sekali, atau tepatnya pada Juni atau Juli.

Berdasar kepercayaan warga, Sadranan merupakan bentuk napak tilas leluhur panutan warga setempat, sekaligus penguasa hutan Wonosadi, yakni Ki Onggoloco yang diyakini masih menjaga hutan itu sampai kini.

Semasa hidupnya, Ki Onggoloco selalu mengumpulkan murid-muridnya di Lembah Ngenuman setahun sekali dengan membawa makanan.

Ki Onggoloco adalah putra dari Roro Resmi sebagai sosok yang pertama kali membuka hutan Adat Wonosadi. Roro adalah salah satu istri dari Raja Brawijaya V.

Selain napak tilas leluhur, Sadranan yang membawa aneka makanan juga ditujukan sebagai wujud syukur kepada Tuhan atas karunia hasil panen di wilayah itu.

Sri mengakui adat dan kepercayaan yang berkembang memiliki dampak signifikan terhadap upaya pelestarian hutan.

Warga setempat percaya bahwa berbuat negatif, mencuri, apalagi merusak tanaman di hutan Wonosadi, sama dengan melanggar hukum adat yang meskipun tidak tertulis, namun konsekuensinya dipercaya masyarakat berupa bala atau malapetaka.

Selain Sadranan, kawasan itu memiliki kesenian Rinding Gumbeng, berupa seperangkat alat musik tradisional warisan leluhur Dusun Duren.

Alat musik yang terbuat dari bambu itu selalu dimainkan untuk mengiringi beragam upacara adat di dusun itu, termasuk saat Sadranan. Di kediaman Sri, berdiri sanggar kecil sebagai tempat warga berlatih memainkan alat musik itu.

Pada 2022, grup kesenian Rinding Gumbeng dari dusun itu diundang Presiden Joko Widodo untuk tampil saat upacara HUT Kemerdekaan RI di Istana Negara di Jakarta.

Bagi Sri, menjaga kelestarian alam Hutan Adat Wonosadi sekaligus merawat adat dan budaya di dalamnya adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan.

Sadar bahwa ia tidak bisa menjaga hutan itu selamanya, Sri dan para Jagawana lainnya mulai melakukan regenerasi dengan membentuk kelompok Satrio Bumi, beranggotakan anak-anak muda.

Setidaknya upaya itu sebagai bentuk menjalankan wasiat bapaknya Sudiyo, sebelum mengembuskan napas terakhir pada 2011.

Sri mengingat pesan bapaknya agar Hutan Wonosadi tidak sampai rusak dan kesenian musik rinding jangan sampai hilang atau punah.
​​​​

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024