Dulu, alam pun kami tantang
Kupang (ANTARA) - Matahari sekitar 2 jam lagi akan terbenam di ufuk barat Selat Rote, Nusa Tenggara Timur. Bukannya sepi, kapal-kapal nelayan malah hilir mudik untuk berlayar dari Kupang dan sekitarnya menuju kawasan Laut Timor yang kaya ikan.

Sambil menerawang jauh, seorang nelayan berperawakan kekar, Muhammad Mansur Dokeng, mengendalikan kemudi kapal kayunya. Seolah tak ingin kalah, suara kencang mesin motornya menjadi bagian dalam keriuhan menjelang senja di tengah perairan yang terapit Pulau Timor dan Pulau Rote itu.

Sesekali pria bernama lain Dewa itu menggunakan teropong binokularnya. Mata tajamnya seakan mengawasi aktivitas nelayan-nelayan lain. Terkadang kapalnya bergerak mendekati kapal nelayan lain yang masuk dalam pantauannya.

"Amankah perbekalan kalian? Hati-hati ya, jangan sampai masuk perairan Australia!," pesan Dewa kepada nelayan-nelayan di kapal lain yang ia temui.

Bukan aktivitas nelayan biasa yang Dewa lakukan saat itu. Tak sekadar mencari ikan, bapak dua anak itu memiliki misi lain dalam setiap pelayaran ke perairan Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara Australia itu.

Sudah hampir 4 tahun ini Dewa bersama Kelompok Usaha Bersama (KUB) Angsa Laut aktif melakukan aksi edukasi kepada nelayan-nelayan NTT tentang bahaya menangkap ikan dengan melanggar batas negara Indonesia-Australia.

Masih adanya nelayan NTT yang tertangkap oleh aparat di Australia akibat memasuki wilayah negara tersebut tanpa izin membuat Dewa tergerak untuk gencar bersuara.

Apalagi dia juga pernah merasakan pahitnya saat ditahan otoritas keamanan Australia akibat tindakan serupa. Dewa tak ingin dingin penjara Australia dirasakan oleh nelayan-nelayan Indonesia lainnya. “Total 12 kali saya ditangkap Australia, sembilan kali di antaranya saya sampai dipenjara antara 3 hingga 7 bulan,” kata Dewa.

Saat itu ia sering tertangkap tangan menangkap ikan dengan melanggar batas wilayah Australia karena tidak paham cara mengetahui batas kedua negara. Teknologi global positioning system (GPS) atau sistem navigasi berbasis satelit yang membantu dalam informasi posisi kapal kala itu tak ia gunakan.

Dahulu Dewa lebih mengandalkan insting dan nyalinya dalam mencari ikan di perairan laut lepas. Terkadang badai lautan pun tak menghalanginya dalam mencari ikan. “Dulu, alam pun kami tantang,” kata Dewa.

Nelayan sekaligus aktivis lingkungan Muhammad Mansur Dokeng alias Dewa menunjukkan tato yang ia buat saat ditahan otoritas keamanan Australia akibat mencuri ikan di dengan melanggar batas negara. ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA

Titik balik

Asam garam kehidupan yang berulang kali dilaluinya di penjara Australia akhirnya membuat Dewa jera. Pertemuannya dengan salah seorang sipir penjara Australia bernama Andrew, saat terakhir ditahan pada 2010, menjadi titik baliknya untuk berubah.

Sipir Andrew berpesan kepada Dewa bahwa menangkap ikan secara ilegal di wilayah negara lain sama saja dengan mencuri. “Sesuatu yang didapatkan dengan cara tidak baik maka akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik pula,” kata Dewa mengulangi pesan dari sipir di Australia kala itu. Sejak saat ia berjanji tidak akan memberikan makan keluarganya dengan cara haram, termasuk mencuri ikan di perairan Australia.

Selain itu, nasionalisme Dewa pun juga bangkit setelah melalui titik balik dalam kehidupannya. “Bagi Indonesia pelanggaran yang kami lakukan disebut penangkapan ikan secara ilegal, tapi bagi Australia itu tetap saja disebut mencuri,” kata Dewa.

Dengan berapi-api dia menegaskan kampanyenya untuk tidak melanggar batas negara saat mencari ikan kepada para nelayan NTT juga untuk menjaga martabat dan kehormatan bangsa Indonesia. “Jangan sampai Australia mengecap kita bangsa pencuri,” kata Dewa.

Nelayan sekaligus aktivis lingkungan Muhammad Mansur Dokeng alias Dewa (kelima dari kiri) bersama anak-anak menanam bibit bakau di Pantai Oesapa di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA

Pelestarian lingkungan

Tak hanya persoalan pelanggaran batas negara saat mencari ikan, Dewa pun juga aktif mengampanyekan pelestarian lingkungan laut. Kondisi semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan di perairan sekitar Pulau Timor sejak 2017 menjadi latar belakang kampanyenya.

Situasi itu menjadi kegelisahan bersama bagi nelayan. Oleh karena itu, mereka sepakat perlu melakukan langkah-langkah nyata agar laut tempat mereka mencari ikan dapat kembali produktif.

Aktivitas eksploitasi berlebihan dengan alat-alat tangkap terlarang, seperti cantrang, pukat, hingga bom ikan, mereka sinyalir menjadi salah satu penyebabnya. Kondisi tersebut diperparah dengan lautan yang semakin tercemar dengan sampah-sampah plastik maupun limbah-limbah lainnya.

Oleh karena itu, Dewa bersama para nelayan KUB Angsa Laut gencar mengampanyekan kepada para nelayan NTT maupun nelayan pendatang untuk tidak mengeksploitasi hasil laut secara berlebihan dengan alat tangkap terlarang itu.

Selain itu, Dewa dan teman-temannya pun juga terus mengampanyekan ke kalangan nelayan di Kupang dan sekitarnya untuk tidak membuang sampah ke laut. Langkah-langkah dari pendekatan persuasif hingga memasang sejumlah papan berisikan pesan lingkungan telah ditempuh Dewa dan kawan-kawannya.

Langkah kelompok nelayan untuk tidak lagi menggunakan air minum dalam kemasan sekali pakai saat ini juga mulai diadaptasi oleh kelompok-kelompok nelayan lain.

Bahkan, sebagian dari nelayan binaan kelompok yang Dewa pimpin juga menggunakan air yang dihasilkan dari alat pemanen air hujan siap minum untuk mengurangi ketergantungan pada produk kemasan sekali pakai. Langkah tersebut juga bisa berkontribusi mengurangi potensi sampah yang terbuang ke laut.

Tak hanya pada kalangan nelayan, kampanye lingkungan yang Dewa lakukan juga menyasar generasi muda dengan mengajak mereka dan anak-anak di kampungnya menanam bibit-bibit bakau di pesisir Oesapa.

Bibit-bibit bakau tersebut nantinya diharapkan dapat menjadi hutan mangrove yang berguna bagi masyarakat di Oesapa maupun daerah lainnya. Mangrove dapat meredam gelombang laut saat seperti badai Seroja lalu sekaligus menjadi habitat bagi banyak spesies ikan dan satwa-satwa lainnya.

Dewa berharap semangat para nelayan dalam menjaga alam ini dapat menular ke kalangan nelayan lain di Indonesia, khususnya NTT. Sebenarnya laut Indonesia itu kaya, tergantung cara seseorang atau kelompok mengelola dan merawatnya.

“Bila kita dapat merawat dengan baik, maka laut akan memberikan kekayaan di dalamnya untuk kita dan anak cucu kita kelak,” kata Dewa.

Editor: Achmad Zaenal M

 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024