Jakarta (ANTARA News) - Fenomena El Nino yang terjadi secara lokal dengan periode lebih singkat menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup terumbu karang di perairan Indonesia.
"El Nino lokal bisa saja terjadi. Seperti di Bali, di dekat landasan bandar udara itu sering terjadi kenaikan suhu muka air laut, dan mengakibatkan pemutihan terumbu karang atau coral bleaching," kata peneliti senior oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Suharsono, usai diskusi di media center LIPI, Jakarta, Kamis.
Terumbu karang di Indonesia, menurut dia, memiliki kemampuan untuk pulih dari kerusakan alami seperti pemutihan karena El Nino atau bencana alam, dengan syarat kondisi air di perairan tersebut masih baik, pola arus baik, dan biodiversity di perairan tersebut masih baik.
"Ada yang bisa pulih dalam kurun waktu tujuh hingga delapan tahun saja. Berbeda dengan terumbu karang di Hawaii, bisa butuh waktu 25 sampai 30 tahun untuk pulih secara alami," ujar dia.
Hal yang menjadi kekhawatiran adalah El Nino lokal datang dalam periode waktu lebih singkat, sehingga tidak memberikan waktu cukup bagi terumbu karang pulih secara alami.
"Ini yang saya khawatir menyulitkan terumbu karang untuk pulih secara alami. Paling tidak butuh jeda 10 tahun supaya terumbu karang pulih lagi, tapi El Nino lokal seperti di Bali itu bisa datang dalam waktu tiga tahun," katanya.
Ia menjelaskan bahwa terumbu karang yang rusak oleh alam akan kembali pada struktur semula ketika pulih. Sedangkan kerusakan akibat ulah manusia seperti pemboman tidak akan mengembalikan terumbu karang pada struktur aslinya.
"Jadi terumbu karang yang rusak atau bleaching karena El Nino akan pulih ke struktur semula," ujar Suharsono.
Sementara itu, peneliti pada Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Giyanto mengatakan aktivitas manusia benar-benar harus dikelola sehingga efek buruk terhadap terumbu karang dapat ditekan.
"Masyarakat tidak perlu sampai tahu detail jenis-jenis terumbu karang, mereka hanya perlu tahu terumbu karang yang hidup seperti apa yang mati seperti apa. Sehingga pengawasan mandiri dapat mereka lakukan," ujar dia.
Pendekatan dan memberikan pemahaman pada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian terumbu karang lebih penting dilakukan. Kegiatan tersebut harus terus dilakukan agar tidak lagi menangkap ikan dengan melakukan pengeboman, lanjutnya.
Saat ini, menurut dia, frekuensi pengeboman oleh masyarakat saat menangkap ikan semakin berkurang. "Kalau dulu sekitar tahun 1990-an saat kita melakukan penyelaman di wilayah timur bisa mendengar enam sampai tujuh kali dentuman, sekarang ya dua kali masih bisa terdengar".
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014