Perlu diwaspadai karena ada indikasi perubahan hasil dari penghitungan di TPS dengan rekapitulasi di PPS.
Medan (ANTARA News) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus dapat mewaspadai perubahan hasil penghitungan suara dalam proses rekapitulasi untuk memastikan penyelenggaraan Pemilihan Umum yang jujur dan berkualitas.
"Perlu diwaspadai karena ada indikasi perubahan hasil dari penghitungan di TPS dengan rekapitulasi di PPS," kata politisi PDI Perjuangan Sumut Brilian Moktar dalam diskusi Evaluasi Pemilu yang diselenggarakan Kelompok Kerja Wartawan KPU Sumut, di Medan, Kamis.
Menurut Brilian, perubahan hasi penghitungan suara di TPS dengan rekapitulasi di Panitia Pemungutan Suara (PPPS) di tingkat kelurahan/desa dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) itu sangat merugikan bagi caleg yang telah menggalang dukungan sejak lama.
Dengan adanya manipulasi hasil penghitungan suara, upaya penggalangan yang dilakukan caleg menjadi sia-sia meski mendapatkan dukungan yang sangat banyak.
Mungkin, ancaman perubahan hasil penghitungan suara tersebut dapat diantisipasi oleh caleg yang memiliki tim saksi lengkap sehingga mampu mendapatkan data yang kuat.
"Lalu, bagaimana nasib caleg yang tidak memiliki tim yang lengkap," katanya.
Pengawas Kemitraan Untuk Demokrasi David Susanto mengatakan, dalam pengawasan yang dilakukan berbagai instrumen pemantau selama ini, memang ada indikasi "jual beli" suara sebelum pemilihan.
Namun praktik yang berkaitan politik uang (money politic) tersebut sulit untuk dibuktikan karena belum ada pihak-pihak mungkin yang merasa dirugikan.
Namun manipulasi hasil pemilihan setelah pemungutan suara harus diawasi karena akan merugikan sejumlah pihak dan mencederai nilai demokrasi.
Sebenarnya, peluang manipulasi data tersebut diawali dari tidak adanya data tentang jumlah pemilih yang akurat sehingga dapat dimanfaatkan untuk menguntungkan pihak tertentu.
Ia mencontohkan adanya warga yang telah meninggal dunia tetapi masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). "Warga itu sudah meninggal dunia lima tahun lalu, tetapi masih masuk sebagai pemilih," katanya.
Potensi manipulasi suara juga muncul dari kesulitan warga untuk mendapatkan formulir C-6 atau undangan untuk datang dan menggunakan hak pilih di TPS.
"Data pemilih seolah-olah mahal, formulir C-6 yang sebenarnya hak warga saja susah didapatkan," ujarnya.
Selain data yang tidak akurat dan kesulitan untuk mendapatkan data, indikasi praktik manipulasi hasil penghitungan suara juga dinilai massif karena sulitnya warga mengakses formulir C-1 atau hasil penghitungan suara.
Bahkan, kesulitan untuk mengakses formulir C-1 tersebut juga dialami warga Kota Medan yang merupakan salah satu kota besar di Indonesia dan dekat dengan berbagai fasilitas teknoogi infromasi.
"Sampai saat ini, data C-1 di Medan belum bisa diakses sepenuhnya," kata David. (*)
Pewarta: Irwan Arfa
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014