Washington DC (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku banyak ditanya sejumlah kalangan, termasuk oleh wartawan asing, soal peraturan-peraturan daerah yang dianggap bernuansa Islam sehingga sering disebut sebagai perda syariah. "Banyak salah pengertian tentang Islam, khususnya perda-perda syariah yang bernuansa Islam. Ini perlu dijelaskan dan diluruskan," katanya dalam pertemuan dengan masyarakat Indonesia di KBRI Washington DC, Sabtu malam (Minggu pagi WIB). Pernyataan Wapres itu menjawab pertanyaan seorang warga mengenai perkembangan di Tanah Air, khususnya tentang eksekusi kasus Tibo Cs dan otonomi daerah. Pertemuan dan dialog dipandu Dubes RI untuk Washington DC, Sudjadnan Parnohadingrat. Menurut Wapres, memang ada sejumlah perda di beberapa propinsi, kota dan kabupaten, yang melarang perdagangan alkohol. "Tahun 1920 di Amerika sudah ada larangan alkohol. Apa Amerika negara Islam," Tanya Wapres. Lalu ada perda yang melarang pelacuran, karena memang prostitusi itu merupakan tindak mpidana umum dan dilarang oleh negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. "Ada di Aceh orang dicambuk, lalu dituduh itu pelaksanaan syariah Islam. Tapi di Singapura juga ada orang Amerika dicambuk. Apa itu Singapura negara Islam? Hukuman cambuk itu suatu cara saja," katanya. Pada dasarnya, orang shalat, naik haji, kawin, semua pelaksanaannya didukung negara. Semua itu syariah dan mendapat dukungan negara. Ada juga yang mempersoalkan hukuman rajam, padahal belum tentu itu terjadi 10 tahun sekali. "Hukum Islam itu dulu 'cash and carry', karena waktu itu tidak ada penjara. Sekarang ada penjara, jadi cara penghukuman bisa berubah," katanya. Begitu juga bila ada orang yang mempersoalkan sebuah kabupaten yang pada hari Jumat mewajibkan warganya untuk memakai baju gamis atau baju koko. Itu pun dianggap sebagai pelaksanaan syariat Islam. "Di Padang, baju semacam itu disebut gunting China atau baju China. Pernah tidak lihat Ramos Horta (PM Timor Leste, red), hampir tiap hari dia pakai baju koko. Apa Ramos Horta Muslim? Pendeta juga pakai baju koko, Cuma sedikit beda warnanya. Jadi itu tidak ada masalah. Suster suster di biara, kan pakai jilbab juga. Kok dipersoalkan," katanya. Begitu juga kasus eksekusi Tibo Cs. Jangan dipersoalkan sebagai kasus agama atau etnis, melainkan tindak kriminal biasa. "Soal Tibo itu cara kita untuk menegakkan hukum. Kalau sudah divonis dan tidak ada jalan hukum lain, ya sudah dilaksanakan. Eksekusi ini betul-betul soal hukum, bukan soal agama dan suku," demikian Wapres Jusuf Kalla. (*)
Copyright © ANTARA 2006