Perlu dicatat, negara yang mempunyai industri rokok yang besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, Argentina, dan lain-lain secara gamblang menolak diintervensi dalam mengatur industri tembakau di negaranya masing-masing
Jakarta (ANTARA) - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menilai terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan berdampak ganda (multiplier effect) bagi kelangsungan industri kretek nasional legal.

Selain itu, menurut Ketua umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan, ruang lingkup Pengamanan Zat Adiktif yang termuat pada Pasal 429 – 463 dalam PP 28/2024 akan mengancam kedaulatan negara.

Henry dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, mencontohkan Pasal 435 yang berbunyi “Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standardisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan”.

Pihaknya mensinyalir Pasal 435 adalah titipan untuk menuju kemasan polos yang sudah lama jadi misi kelompok anti tembakau yang memberikan tekanan pada pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

"Perlu dicatat, negara yang mempunyai industri rokok yang besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, Argentina, dan lain-lain secara gamblang menolak diintervensi dalam mengatur industri tembakau di negaranya masing-masing," katanya.

Merujuk kajian GAPPRI, proses penyusunan PP 28/2024 sejak awal sudah menuai polemik, karena tidak transparan dan tanpa partisipasi masyarakat serta pemangku kepentingan.

Menurut dia upaya pemerintah memperketat regulasi dengan memberlakukan PP 28/2024 khususnya Pasal 429 - 463 selain mematikan pabrik rokok kretek legal, dampak sosialnya juga bertambah.

Penyerapan tembakau dan cengkeh dalam negeri akan menurun tajam serta dampak negatif sangat besar bagi kesejahteraan petani tembakau, cengkeh, pekerja logistik, pedagang dalam negeri dan kehilangan nafkah di sepanjang mata rantai nilai industri kretek legal nasional.
Dikatakannya, industri kretek legal nasional sudah dalam kondisi rentan yang terlihat dari turunnya jumlah pabrik dari 4.000 di 2007 menjadi 1.100 pabrik di 2022.

"Pemerintah perlu bersiap untuk menghadapi gelombang pengangguran besar yang akan memberikan konsekuensi ekonomi maupun sosial," ujarnya.

Negara, tambahnya, juga akan kehilangan penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT) konvensional yang sangat besar, dan akan dibarengi dengan massifnya peredaran rokok ilegal.

GAPPRI juga mencatat, PP 28/2024 disinyalir melanggar Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang penghormatan hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) warga negara dengan masing-masing profesinya.

Selain itu, PP 28/2024 ruang lingkupnya lebih mewakili agenda FCTC daripada melindungi kemaslahatan asosiasi petani, serikat pekerja, asosiasi ritel, pelaku usaha, asosiasi industri tembakau.

Dalam kasus PP 28/2024, lanjutnya, di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, keberlangsungan hidup petani tembakau, dan kontinuitas sektor industri kretek legal nasional, hingga penerimaan negara.

Dikatakannya, kedaulatan negara yang diwujudkan dalam kemandirian pemerintah selayaknya secara mandiri mengambil kebijakan yang dibutuhkan, sebab pemerintah Indonesia lah yang paling tahu kondisi Indonesia. Bukan pemerintah negara lain, terlebih lagi LSM dari luar negeri.

"GAPPRI menolak keras PP 28/2024 yang jelas arahnya pada misi perdagangan dan penyisipan agenda LSM asing yang disponsori oleh kapitalis industri pesaing kretek untuk menghancurkan industri kretek legal nasional," ujarnya.

Baca juga: GAPPRI sebut kenaikan tarif CHT berpotensi tingkatkan rokok ilegal
Baca juga: Gappri minta pemisahan pengaturan produk IHT dari RPP Kesehatan

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2024