Usaha untuk menemukan, merekonstruksi, atau merevitalisasi kembali tari binih dapat dilakukan dengan cara revitalisasi tekstual maupun kontekstual
Jakarta (ANTARA) - Tari binih merupakan tari rakyat sebagai salah satu bentuk identitas masyarakat Aceh Tamiang, yang telah punah dan hilang dari tengah-tengah masyarakatnya.
Menurut H.M Zainuddin dalam bukunya "Tarich Aceh dan Nusantara" cetakan pertama tahun 1961, tarian binih awalnya ditampilkan, yang disebut dengan piasan (permainan) dalam bahasa Tamiang.
Tari binih biasanya dibawakan oleh gadis-gadis Tamiang setelah selesai memotong padi (mengetam) setiap tahun. Biasanya dimainkan oleh dua kelompok secara bergantian untuk menunjukkan kecakapan dan ketangkasan mereka masing-masing.
Dalam satu kelompok, sekurang-kurangnya enam atau 12 orang yang ditambah seorang syech atau pengacara tari yang disebut dengan petue binih dalam istilah bahasa Tamiang. Petue binih merupakan seorang perempuan tua.
Tari binih dimainkan di dalam ruangan rumah yang luas di atas tikar yang telah dibentangkan. Di atas bentangan tikar itu disediakan dua lapis papan yang berdempetan, di atas papan itulah gadis-gadis tersebut menarikan tari binih dengan mengentakkan kaki-kakinya ke papan menurut irama lagu-lagu sebagai ganti gendang atau musik.
Dalam menarikan tari binih, pada gadis memakai gelang di kaki dan tangan yang longgar yang berbunyi gemerincing dan nyaring ketika diguncang atau dientak-entakkan ke papan.
Tarian binih dimulai dengan pantun oleh syech atau petue binih. Akan tetapi bagaimana bentuk gerakan-gerakan tari binih sendiri kurang jelas disampaikan oleh H.M. Zainuddin.
Dengan bergulirnya waktu, tari ini mulai ditinggalkan dan dilupakan oleh masyarakat khususnya masyarakat Melayu Aceh Tamiang dan masyarakat Aceh umumnya.
Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengembalikan keberadaaannya serta menguatkan fungsinya di tengah-tengah masyarakat Aceh Tamiang sebagai identitas dan kekayaan daerah yang perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan cara merevitalisasi kembali tarian tersebut.
Merevitalisasi sebagaimana dikutip dari pendapat Soedarso SP, "adalah usaha untuk memvitalkan atau menghidupkan kembali sesuatu yang eksistensinya masih berarti dan dengan demikian eksistensi tersebut perlu dijaga dan dikembangkan”.
Selain itu menurut penulis, sesuatu yang sudah tidak ada lagi atau sudah punah atau dengan istilah lainnya tidak lagi eksis pun sekiranya harus dapat difungsikan kembali dengan cara mencari, merekonstruksi dan merevitalisasi sehingga sesuatu yang punah tersebut dapat dihidupkan kembali sepanjang ada kemungkinan, yang dalam arti bahwa keberadaan sesuatu tersebut masih ada yang mendukungnya, peduli, atau pemiliknya.
Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut, revitalisasi seni tari tradisi rakyat dipahami sebagai usaha untuk menghidupkan kembali tari rakyat yang keberadaannya masih ada atau mungkin juga sudah punah sehingga berguna bagi masyarakatnya masa sekarang maupun yang akan datang.
Seni tari rakyat harus terus dijaga kelestariannya dan dikembangkan dengan jalan menyempurnakan kualitas keadaannya maupun meningkatkan kemungkinannya untuk melayani masyarakat luas dan modern.
Revitalisasi sebagai rangkaian usaha atau cara memiliki dua jenis atau model pendekatan yaitu tekstual dan kontekstual.
Revitalisasi tekstual adalah revitalisasi yang dilakukan dalam suatu cabang seni tertentu, baik dengan jalan menstruktur suatu cabang seni yang sedang digarap maupun dengan menggabungkannya dengan teks-teks lainnya, yang sejenis maupun yang berbeda, ataupun dengan meningkatkan fungsi dari teks-teks yang ada.
Adapun revitalisasi kontekstual adalah revitalisasi yang dijalankan dengan menggabungkan teks dengan teks-teks lainnya yang berasal dari luar atau memanfaatkan sebuah teks untuk kepentingan teks-teks lain.
Berdasarkan kedua jenis model revitalisasi tersebut, akan kelihatan jelas pemilahan dari contoh-contoh yang melengkapinya. Hal tersebut tanpa memilahkan pula mana yang dianggap baik dan tidak baik atau dampak positif dan negatifnya, dari proses pengerjaan revitalisasi tari rakyat tersebut.
Tari binih merupakan salah satu bentuk identitas masyarakat Aceh Tamiang yang telah mengalami kepunahan. Karena itu sangat perlu dilakukan usaha untuk menemukan kembali, merekonstruksi atau merevitalisasi tarian binih untuk mengembalikan dan menghidupkan kembali di tengah-tengah masyarakat Aceh Tamiang.
Usaha untuk menemukan, merekonstruksi, atau merevitalisasi kembali tari binih dapat dilakukan dengan cara revitalisasi tekstual maupun kontekstual.
Adapun revitalisasi tekstual dengan jalan merestrukturnya kembali seperti upaya mencari orang yang mengetahui keberadaan tari tersebut, melalui dokumen-dokumen yang berkenaan dengan tari, upaya merestrukturnya dan penyempurnaan kualitas dan pelaksanaannya, misalnya, membentuk kembali atau memperbaiki tarian dari segi koreografinya, pola lantai, iringan, rias, dan busana.
Untuk koreografi dapat dilakukan dengan cara pemadatan gerak, maksudnya adalah tari binih yang terdiri dari beberapa rangkaian gerak yakni gerak pokok, gerak penghubung, dan gerak peralihan ini dapat diolah atau disusun kembali yang menjadikan tari binih tersebut padat akan susunan koreografinya.
Secara umum, hal ini karena gerak-gerak dalam seni tari rakyat yang menjadi kekayaan dari sebuah tarian itu yang merupakan gerakan pengulangan atau disajikan berulang-ulang.
Jadi pemadatan yang dimaksud bukanlah berarti membuang sebagian dari kekayaan gerak yang ada, tetapi menyusun kembali kelompok-kelompok gerak sehingga tidak terjadi pengulangan gerak yang pada umumnya mempengaruhi durasi waktu yang digunakan.
Untuk pola lantai, dengan adanya pemadatan dari unsur gerak yang telah ditata sedemikian rupa, maka dengan sendirinya pola lantai yang ada akan berubah, karena disesuaikan dengan kebutuhan koreografi yang telah dipadatkan.
Yang perlu dipahami sebelum mengubah pola lantai tari tersebut ada yang harus dicermati agar perubahan pola lantai tidak merusak keseluruhan sajian tari. Ini dikarenakan pola-pola lantai dalam seni tari rakyat mengandung kekuatan tersendiri, seperti tari binih yang dibawakan di atas susunan dua lembar papan yang berada di atas bentangan tikar lebar.
Untuk iringan tari, disesuaikan dengan pola-pola gerak yang sudah dipadatkan dengan masih lengkap mempergunakan seperangkat alat pengiringnya. Rias wajah, kepala, tangan, dan kaki yang awalnya dilakukan secara tradisional, dikembangkan dengan menggunakan teknik/perlengkapan rias modern.
Pada awalnya rias wajah penari yang hanya menggunakan bedak (sering disebut saripohaci) dan untuk membentuk alis tebal menggunakan jelaga (kotoran dari lampu teplok minyak yang berwarna hitam yang dicampur dengan minyak jelantah (minyak bekas menggoreng), serta pemerah bibir menggunakan gincu dari sirih atau kertas warna, maka kini dapat menggunakan produk-produk kosmetik di pasaran.
Untuk rias kepala, dulunya menggunakan rambut penari sendiri yang disanggul kecil, kini dapat menggunakan sanggul buatan yang lebih besar ukurannya disesuaikan dengan bentuk wajah penari. Adapun rias tangan dan kaki yang sebelumnya polos pada bagian kuku dapat menggunakan pewarna kuku sesuai dengan warna yang diinginkan. Gelang-gelang kaki dan tangan yang semula lingkaran logam agar berbunyi gemerincingnya, maka kini dapat di tambah dengan bandulan agar lebih nyaring berbunyi.
Untuk busana dapat ditambahkan hiasan-hiasan lainnya yang mendukung penampilan penari.
Revitalisasi tekstual seni rakyat dapat juga dengan menggabungkan beberapa teks-teks lainnya yang sejenis maupun yang berbeda. Misalnya, menggabungkan beberapa teks gerak tari berinai Aceh Tamiang dengan tari binih Aceh Tamiang, di mana gerak-gerak tari berinai yang seperti gerakan silat digabungkan atau disisipkan pada gerakan tari binih yang bergerak di atas dua keping papan.
Iringan yang semula menggunakan suara syech atau petue binih, dapat di gabungkan dengan alat musik tradisi seperti alat tiup serunei, rapai, dan sebagainya.
Untuk revitalisasi tekstual seni tari rakyat yang meningkatkan fungsi terhadap teks-teks yang ada, misalnya, dengan meningkatkan kemampuan seni tari rakyat yang semula dipersembahkan untuk kepentingan masyarakat tradisi, ditingkatkan untuk melayani masyarakat modern dengan cara menambahkan fungsi baru atau mengubah fungsinya yang lama.
Misalnya, tari rakyat yang semula berfungsi sebagai tari upacara dan hanya dilakukan pada upacara-upacara tertentu atau acara-acara sakral, kemudian ditingkatkan atau dilakukan perubahan dalam sajiannya sebagai seni sekuler atau pertunjukan.
Dalam hal ini, tari binih yang awalnya ditampilkan dalam kegiatan pemotongan padi, maka dapat ditingkatkan fungsinya menjadi seni pertunjukan dalam acara-acara hiburan rakyat atau festival budaya, diajarkan di kegiatan-kegiatan ekstra sekolah, dan lainnya.
Sebagaimana pada tari sining sebagai tari tradisi masyarakat Aceh Tengah, semula ditarikan untuk kepentingan upacara pembangunan rumah yang ditarikan di atas sebuah balok kayu yang tinggi.
Perubahan fungsi di sini dari fungsi sakral, yang semula untuk kepentingan pembangunan rumah, berubah menjadi ke fungsi sekuler secara umum yaitu ditampilkan untuk tontonan dalam festival-festival seni atau budaya atau seni wisata.
Dengan adanya revitalisasi seni tari tradisi atau seni rakyat maka banyak manfaat yang dapat dirasakan, baik itu oleh pelaku seni atau seniman sendiri, masyarakat umum, kalangan akademisi khususnya di bidang seni, dan pemerintah.
Manfaatnya, antara lain, dapat memberikan peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup pelaku seni yang mana tidak hanya dapat menghidupi diri sendiri tapi juga dapat menghidupi orang lain karena tari binih akan tampil di festival budaya masyarakat, diajarkan untuk kegiatan ekstrakurikuler sekolah yang ada di kabupaten Aceh Tamiang yang dapat ditampilkan dalam perlombaan seni sekolah.
Tarian ini juga dapat mengisi acara-acara bergengsi, membuka lahan usaha baik itu sesuai bidangnya ataupun di luar itu, juga mendapat kesempatan bekerja sama dengan kelompok-kelompok seni lainnya.
Tak kalah penting dapat menghadirkan rangsangan diri untuk lebih meningkatkan kemahirannya sehingga memunculkan daya kreatif (penciptaan), pengungkapan (ekspresi) dan penikmatan (apresiatif) peribadi sebagai kepuasan rohani si pelaku seni atau seniman.
Masyarakat Aceh Tamiang juga merasakan manfaatnya sebagai hiburan dari sebuah kegiatan seni rakyat. Bagi kritikus ataupun penulis, bisa menjadikan seni tari rakyat khususnya tari binih sebagai bahan kritikan dalam tulisannya.
Bagi orang yang terlibat dalam dunia hiburan seperti televisi, maka tari rakyat seperti tari binih akan dijadikan paket-paket khusus untuk dapat mengisi program-program acaranya.
Selain itu manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat akademik khususnya bidang seni tari, seperti ISBI Aceh dan Jurusan seni FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, sangat besar.
Manfaat itu, antara lain, untuk penelitian, apresiasi, tulisan makalah, tulisan dalam jurnal atau koran, pengabdian pada masyarakat, bahan ajar, sebagai bahan mata perkuliahan, bahan perbandingan dalam mata kuliah, bahan acuan dalam proses kreatif berolah cipta seni (tari rakyat) baik untuk kepentingan akademik maupun pertunjukan secara peribadi.
Kemudian manfaat yang dapat dirasakan oleh Pemerintah, dapat dijadikan seni sebagai komoditas industri yang siap tampil untuk program-program khususnya untuk seni wisata.
Dijadikan sebagai kepentingan yang menunjang pada program Pemerintah, seperti penyuluhan, penerangan, l promosi, serta lainnya. Juga dijadikan sebagai ajang dalam kegiatan politik serta sebagai kebanggaan yang dapat meningkatkan citra daerahnya.
*) Dr. Rida Safuan Selian, M.Pd adalah akademisi, peneliti dan pemerhati budaya serta seni di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024