Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Prof. Susi Dwi Harijanti menilai rencana DPR RI untuk mengevaluasi Mahkamah Konstitusi dapat mengancam independensi lembaga pengadilan tersebut.

Prof. Susi menyampaikan pendapat tersebut ketika menanggapi Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung yang mengemukakan rencana evaluasi pascaputusan MK mengenai ambang batas pencalonan dan batas umur calon kepala dan calon wakil kepala daerah.

"Kalau terjadi balasan-balasan semacam ini melalui evaluasi, independensi Mahkamah Konstitusi itu dalam posisi bahaya. Ketika independensi Mahkamah Konstitusi dalam posisi bahaya karena diserang terus oleh lembaga politik, itu terjadi politicization of the judiciary, politisasi lembaga pengadilan," kata Prof. Susi saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis.

Padahal, kata dia, berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, jaminan kemerdekaan atau independensi MK sudah dijamin di dalam UUD NRI Tahun 1945.

"Dan itu membahayakan. Karena apa? Hanya pengadilan yang bisa melindungi hak-hak warga negara, dan kepada siapa lagi kita bisa meminta keadilan kalau bukan kepada lembaga pengadilan?" ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa MK didirikan dengan tujuan utama untuk menjamin sistem politik yang demokratis serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Oleh sebab itu, dia mengingatkan bahwa MK menegakkan keadilan dalam konteks Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, dan bukan mengambil porsi DPR serta Pemerintah selaku pembuat undang-undang.

"Ya 'kan Mahkamah punya alasan, yaitu ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi peserta pemilihan umum. Apalagi, Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 itu 'kan dia menegakkan hukum dan keadilan, bukan hanya semata-mata menegakkan hukum, melainkan juga menegakkan keadilan," katanya.

Baca juga: Putusan MK 60 untungkan partai politik pada Pilkada 2024
Baca juga: Putusan MK cegah aksi borong dukungan terhadap paslon pada pilkada


Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi posisi MK dalam jangka menengah dan panjang karena dianggap mengerjakan banyak urusan yang bukan menjadi kewenangannya.

Menurut Doli, salah satu contohnya mengenai pilkada. Seharusnya, menurut dia, MK meninjau ulang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, tetapi akhirnya MK turut masuk pada hal-hal teknis sehingga dianggap melampaui batas kewenangannya.

"Di samping itu, banyak putusan yang mengambil kewenangan DPR selaku pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang itu hanya Pemerintah dan DPR, tetapi seakan-akan MK menjadi pembuat undang-undang ketiga," kata Doli dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

MK pada hari Selasa (20/8) mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. MK membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat.

Lewat putusan tersebut, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu di daerah bersangkutan mulai dari 6,5 hingga 10 persen.

Selanjutnya, melalui Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, harus terhitung sejak penetapan pasangan calon.

Pewarta: Rio Feisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024