Jakarta (ANTARA) - Sejauh ini kekhawatiran pecahnya perang kawasan di Timur Tengah tak terjadi.

Iran yang dikhawatirkan memicu perang sebagai balasan atas aksi-aksi Israel, tak terpancing untuk masuk jebakan perang kawasan.

Sebaliknya, Israel, khususnya pemerintahan kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, terlihat menginginkan perang kawasan itu.

Netanyahu yang menghadapi tekanan di dalam negeri karena korupsi dan amputasi sistem peradilan Israel, berusaha menguatkan persepsi adanya musuh bersama, yang kualifikasinya dipenuhi oleh Iran.

Padahal, wajah Iran berubah belakangan ini, bahkan kini dipimpin tokoh moderat yang lebih memprioritaskan pembangunan di dalam negeri.

Pierre Conesa dalam "Fabrication of the Enemy: Or How to Kill People with a Clean Conscience" mengatakan bahwa rezim-rezim kerap berusaha melanggengkan kekuasaan dengan cara menghidupkan persepsi musuh bersama.

Dengan cara itu, dukungan massa dimobilisasi sehingga kekuasaan rezim itu semakin kuat.

Konflik dan perang pun dianggap alat untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Sebaliknya, ketiadaan musuh membuat rezim itu mengalami disorientasi.

Inilah yang bisa terjadi pada Netanyahu jika pandangan moderat Masoud Pezeshkian diterima Barat sehingga persepsi musuh bersama pun hilang untuk kemudian menutup manuver politik Netanyahu.

Para pemimpin Israel tampaknya lebih suka Iran dipimpin oleh pemimpin garis keras demi melanggengkan pandangan monolitik mereka tentang musuh.

Lior B. Sternfeld, profesor sejarah Yahudi pada Pennsylvania State University dan pengarang "Between Iran and Zion: Jewish Histories of Twentieth-Century Iran", menegaskan hal itu dalam tulisannya pada sebuah media independen di Israel, "+972 Magazine", 13 Agustus lalu.

Pezeshkian memenangkan Pemilu pada 5 Juli 2024. Dia dilantik 30 Juli guna menggantikan Ebrahim Raisi yang tewas akibat kecelakaan helikopter pada Mei 2024.

Dia memenangkan pemilu karena mengusung platform moderat yang salah satunya upaya memperbaiki hubungan dengan AS agar sanksi internasional tercabut sehingga membuka pintu dunia untuk perekonomian Iran.

Pezeshkian bahkan disambut positif di Barat. Sebaliknya, Netanyahu terancam karena kehadiran seorang penguasa moderat di Iran bisa mendorong perbaikan hubungan antara Iran dan AS, yang sangat ditakutkan Israel.

Padahal sikap Iran yang lebih moderat sudah terjadi jauh sebelum Pezeshkian berkuasa, di antaranya ditunjukkan pada Maret 2023 ketika Iran menormalisasi hubungan diplomatik dengan Arab Saudi, yang sebelumnya terlibat perang terselubung melawan Iran di Yaman, Suriah dan Irak.

Baca juga: Pemimpin Tertinggi Iran pimpin shalat jenazah untuk Ismail Haniyeh

Sabotase AIPAC
Ketika Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, sejumlah kalangan di Barat menilai aksi Hamas itu tak direstui oleh Iran.

Tetapi Netanyahu membuang pemikiran itu karena hanya ingin melihat Iran sebagai musuh yang membuat Israel tetap memiliki faktor ketakutan yang menyatukan negaranya untuk mendukungnya dan akhirnya melanggengkan kekuasaannya.

Israel berulang kali memprovokasi Iran untuk melancarkan perang terbuka dengan mereka, salah satunya dengan membunuh jenderal-jenderal Iran di Suriah dan Lebanon.

Tapi sejauh ini Iran menahan diri, walau tak berusaha menghentikan proksi-proksinya di Yaman dan Lebanon menyerang Israel.

Sampai kemudian kepala biro politik Hamas, Ismail Haniyeh, dibunuh sehari setelah menghadiri pelantikan Pezeshkian di Teheran pada 31 Juli.

Iran menuding Israel berada di balik pembunuhan Haniyeh. Tapi pemerintahan Pezeshkian tak mau gegabah.

Mereka malah makin fokus mengejar agenda-agenda nasionalnya, termasuk mengupayakan perbaikan hubungan dengan AS, apalagi ada pergeseran sikap di Barat yang mulai menjaga jarak dengan Israel akibat aksinya di Jalur Gaza.

Pezeshkian sendiri mungkin mengharapkan kondisi pada era pemerintahan Barack Obama di AS dan Hassan Rouhani di Iran pertengahan 1990-an ketika Kesepakatan Nuklir ditandatangani pada 2015, yang merupakan terobosan besar dalam hubungan diplomatik AS dan Iran.

Pezeshkian, dan juga Netanyahu, menantikan hasil Pemilu AS pada 5 November 2024, apakah Kamala Harris atau Donald Trump yang memenangkan Pemilu itu?

Pezeshkian mungkin berharap Harris yang menang, karena bisa membuka lagi peredaan ketegangan seperti dibuat Obama dan Rouhani pada 2015.

Sebaliknya, Netanyahu mengharapkan Trump yang menang. Trump langsung mencampakkan Kesepakatan Nuklir 2015 dan mendorong lagi isolasi Barat terhadap Iran, begitu berkuasa pada 2017.

Sternfeld menyebut langkah Trump itu dipicu oleh sabotase politik kelompok pelobi kepentingan Israel di AS (American Israeli Public Affairs Committee atau AIPAC), dan pemerintah Israel sendiri.

Sabotase itu sudah dilakukan sejak era Presiden Ali Akbar Hashemi Rafsanjani yang berkuasa di Iran mulai 1989.

Sama dengan Pezeshkian, Rafsanjani berusaha membawa Iran memperbaiki hubungan dengan AS dan Barat, sebagai pintu merehabilitasi perekonomian nasional yang kuncinya terletak pada diakhirinya sanksi Barat.

Rafsanjani sampai memberikan konsesi pengusahaan minyak kepada perusahaan AS, Conoco, yang enam tahun kemudian mendapatkan lampu hijau dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keuangan AS.

Tapi sabotase AIPAC memaksa Presiden Bill Clinton membatalkan kesepakatan itu pada 1995.


Pemilu AS
Keadaan serupa terulang pada pemerintahan Muhammad Khatami, yang juga berusaha memperbaiki hubungan dengan AS.

Kembali, AIPAC dan pemerintah Israel menyabotasenya, sampai George Bush yang menjadi presiden AS kala itu, menarik lidahnya sendiri mengenai rencana memulihkan hubungan dengan Iran.

Uluran tangan Khatami untuk membantu AS dalam memerangi Taliban setelah serangan teror 11 September 2001 ditolak mentah-mentah oleh Bush, yang malah menyatakan Iran bagian dari "Poros Kejahatan", untuk kemudian dijatuhi sanksi.

Hanya Hassan Rouhani yang berhasil. Bersama Obama dan para pemimpin China, Prancis, Rusia, Inggris, dan Jerman, Rouhani berhasil merehabilitasi hubungan dengan Barat lewat Kesepakatan Nuklir Iran 2015.

Tapi dua tahun kemudian, Donald Trump mengakhiri kesepakatan itu, setelah dilobi secara ekstensif oleh AIPAC dan pemerintah Israel.

Kini, Netanyahu melihat Masoud Pezeshkian berusaha membuat manuver serupa pendahulu-pendahulunya, memperbaiki hubungan dengan Barat, khususnya AS.

Netanyahu tak ingin hal itu terjadi. Dia sangat berkepentingan dengan tetap menjadikan Iran sebagai musuh bersama, demi mengonsolidasikan kekuasaannya dan membuat AS tak mengubah kebijakannya terhadap Iran.

Provokasi kepada Pezeshkian pun dilakukan dengan membunuh Ismail Haniyeh di bumi Iran, demi memancing Iran menyerang balik guna memicu perang terbuka yang membuat Iran dengan mudah dicap lagi sebagai aktor jahat yang wajib diperangi Barat.

Tapi sejauh ini Iran menahan diri, setidaknya sampai Pemilu AS pada 5 November tahun ini.

Jika Kamala Harris yang menang, maka ada peluang AS dan Iran berbicara lagi satu sama lain.

Sebaliknya, jika Trump yang menang, Iran bisa kembali didudukkan sebagai musuh bersama, yang semakin menguatkan cengkeraman kekuasaan Netanyahu di Israel.

Baca juga: AS desak Iran, Israel cegah eskalasi konflik Timur Tengah

Copyright © ANTARA 2024