Jakarta (ANTARA) - Negara kita dianugerahi samudera yang luas dengan kekayaan bahari yang melimpah, sehingga sudah seyogyanya sektor kelautan bisa menopang perekonomian nasional.

Lautan luas, keanekaragaman biota laut tidak tertandingi, membuat banyak negara iri terhadap Indonesia. Tidak heran, banyak kapal-kapal asing secara ilegal masuk ke zona-zona perairan Tanah Air untuk mencuri kekayaan alam secara besar-besaran.

Dilimpahi harta karun perikanan saja tidak cukup. Bila tidak mampu untuk mengelolanya, maka lama-kelamaan jumlah ikan semakin menipis dan biota laut pun akan habis.

Diperlukan sebuah tatanan dan kebijakan yang mengatur tentang pengendalian penangkapan ikan agar sumber daya tetap lestari. Upaya itu untuk memajukan sektor perikanan Indonesia, menjaga keberlanjutan ekosistem laut, sekaligus membangkitkan kejayaan masa lalu.

Upaya tersebut, akhirnya diterjemahkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui program Penangkapan Ikan Terukur (PIT), di mana Kota Tual dan Kepulauan Aru, Maluku menjadi lokasi percontohan yang pertama.

Kebijakan ini juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 yang mengatur kuota penangkapan ikan pada zona penangkapan ikan terukur, dihitung berdasarkan potensi sumber daya ikan yang tersedia.
Proses stufing ikan ke dalam kontainer berpendingin di kota Tual, Maluku. (ANTARA/HO-KKP)

​​​​​​Melestarikan sumber daya 

PIT adalah penangkapan ikan yang terkendali dan proporsional. Artinya, penangkapan ikan pada wilayah tertentu harus berdasarkan kuota. Hal ini dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta pemerataan pertumbuhan ekonomi nasional.

Selama ini, kapal-kapal nelayan, baik skala kecil hingga besar, bebas menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Cara-cara penangkapannya pun masih tergolong tidak terukur, sehingga merusak ekosistem yang berada di sekitar wilayah penangkapan.

Penangkapan yang tidak terkendali atau masif tanpa mempedulikan keberlanjutan, akan membuat laut di Indonesia kehilangan keanekaragaman hayatinya.

Akibatnya, jumlah ikan semakin sedikit, terumbu karang rusak, nelayan kehilangan pekerjaan dan ujung-ujungnya mempengaruhi masalah ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Keseriusan KKP dalam menjaga keberlanjutan ekosistem laut, membuat PIT masuk dalam lima program prioritas kebijakan ekonomi biru untuk kelautan dan perikanan Indonesia.

Kebijakan berbasis kuota diterapkan untuk mendukung tata kelola perikanan tangkap yang lebih baik, sehingga memiliki keseimbangan dari sisi ekonomi dan ekologi.

Selain itu, penangkapan ikan terukur juga menghubungkan hulu (penangkapan) dengan hilir (pengolahan dan pemasaran), pemerataan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi penangkapan ikan, memperkuat hilirisasi dan memberikan efek ganda bagi ekonomi lokal.

PIT akan dilakukan pada enam zona di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Saat ini, zona 3 yang berada di Kota Tual dan Kepulauan Aru, Maluku, menjadi contoh pertama, yang diluncurkan oleh Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono pada Juni 2024.

Program ini berbasis output control dengan memanfaatkan potensi sumber daya ikan yang ada. Sebelumnya, penangkapan ikan dilakukan secara input control, sehingga belum bisa mengendalikan secara optimal sumber daya ikan yang dimanfaatkan.

Implementasi modeling PIT di Tual dan Kepulauan Aru diperkirakan berlangsung selama satu tahun, disertai monitoring dan evaluasi setiap bulan, sebelum akhirnya diterapkan pada zona-zona lain.

Dalam penerapan modeling PIT, KKP sudah menyiapkan berbagai infrastruktur, mulai dari sistem pengawasan pergerakan kapal berbasis satelit, aplikasi e-PIT, penguatan sumber daya manusia, hingga ekosistem industri hilir perikanan.

Tentu saja, implementasi PIT tidak bisa dilakukan 100 persen setelah peluncuran, melainkan tahap demi tahap untuk melihat sisi efisiensi dan kelemahannya.

Sebagai tahapan awal, pada modeling PIT di Tual dan Kepulauan Aru akan meliputi relokasi kapal ikan asal Jawa yang sebelumnya berpangkalan di pantura, kini berpangkal ke Pelabuhan Perikanan (PP) Tual dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN).

Selanjutnya, ikan hasil tangkapan nelayan lokal ditampung oleh off taker di Tual dan Kepulauan Aru. Pada tahap ini, ada pemberdayaan nelayan, pekerja perikanan, dan masyarakat lokal melalui peningkatan kompetensi awal kapal, bantuan vessel monitoring system (VMS) dan bimbingan teknis.


Keuntungan ganda 

Hakikat dari PIT adalah menghidupkan perekonomian lokal atau sekitar zona penangkapan. Selama ini, kapal-kapal berasal dari wilayah Jawa datang ke Laut Arafura, menangkap ikan dan kembali lagi ke Jawa, sedangkan, warga lokal tidak mendapatkan efek ekonomi.

Dengan adanya PIT, pertumbuhan ekonomi di zona 3 diharapkan bisa mengalami pertumbuhan 5-6 kali, lantaran produktivitas, pengelolaan, tenaga kerja berasal dari Kota Tual dan Kepulauan Aru.

Hal ini juga sejalan dengan visi Kementerian KKP agar industri perikanan Indonesia merata dan tidak tersentral pada wilayah Jawa saja.

Keuntungan penerapan penangkapan ikan terukur tidak hanya akan dirasakan oleh para nelayan dan warga lokal saja. Diproyeksikan terjadi penambahan hasil tangkapan sebesar 3.965 ton per perjalanan atau setiap melaut, penambahan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sekira Rp3,76 miliar per bulan serta penyerapan tenaga kerja hingga 5.130 orang.

Peralihan pelabuhan-pelabuhan ke wilayah Maluku, otomatis mengurangi biaya logistik dan kesempatan ekspor semakin terbuka lebar dengan adanya jalur baru.

Sebagai contoh, biaya logistik untuk ekspor melalui Surabaya atau Jakarta sebesar Rp5.300-Rp7.300 per kilogram. Jika langsung dari Tual/Aru menjadi Rp4.500 per kilogram.

Selain itu, kualitas produk perikanan akan menjadi lebih baik karena prosesnya dilakukan dalam satu lokasi dan waktu tempuh pengangkutan ikan dan perjalanan ekspor menurun.

Pada akhirnya, kebijakan PIT ini dapat memberikan efek ganda bagi industri, pengusaha, nelayan besar, nelayan lokal, dan masyarakat sekitar.
Kapal pengawas Orca 06 dibawah kendali Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan juga melakukan pengawasan di Kupang, NTT, Kamis (12/10/2023). (ANTARA/Fransiska Mariana Nuka)

Jaga sumber daya 

Memiliki wilayah maritim yang sangat luas, tentu tidak bisa dijaga dengan cara-cara tradisional. Oleh karena itu, pemerintah tidak segan-segan menggelontorkan dana hingga 150 juta dolar AS untuk mendukung program PIT melalui 20 satelit nano dan pesawat nirawak.

Bentuk pengawasannya sudah terintegrasi dengan satelit, sehingga akan tergambar kapal-kapal yang berpotensi melakukan pelanggaran. Pemantauan ini dapat dilakukan dari pusat pengendalian dan Command Center KKP.

Dari hasil dari identifikasi pelanggaran tersebut, KKP akan memanfaatkan pesawat patroli udara atau airborne surveillance untuk validasi temuan. Jika ditemukan adanya pelanggaran, maka kapal-kapal pengawas langsung meluncur ke titik kapal tersebut.

Misalnya, dari pantauan satelit menunjukkan kapal A dengan surat izin penangkapan ikan (SIPI) 711, melakukan penangkapan ikan di 712. Artinya, kapal tersebut telah melanggar karena tidak sesuai dengan daerah yang diizinkan.

Pengawasan berbasis teknologi ini lebih efektif untuk memantau perairan yang luas dengan hari operasi sebanyak 90 hari.

Kapal-kapal nelayan ini, tentu tidak secara tiba-tiba muncul di sistem pengawasan KKP. Dalam PIT, setiap kapal yang akan melaut di zona 3 diperiksa dulu kelayakan teknis dan administrasinya, seperti dokumen perizinan, fisik kapal, alat tangkap, awak kapal, standar laik operasi (SLO) dan wajib aktivasi VMS atau alat pantau kapal perikanan.

Ketika sampai di daratan, hasil tangkapan juga diperiksa untuk menyesuaikan dengan jenis, jumlah dan ukuran. Jika sudah sesuai, maka akan diterbitkan hasil pemeriksaan kapal (HPK) kedatangan.

Saat ini penangkapan ikan terukur mungkin masih bersifat modeling, namun jika zona 3 berhasil dan telah terbentuk polanya, maka dapat dilanjutkan pada zona lainnya.

Dengan demikian, dalam 5-10 tahun mendatang, Indonesia sudah bisa memiliki bursa perikanan tangkap. Hal ini mungkin saja terjadi, mengingat sumber daya kelautan yang begitu melimpah.

Merebut kembali kejayaan ekonomi kelautan Indonesia bukan lagi impian semata, seiring dengan visi menuju Indonesia Emas 2045.

​​​​​​​

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024