Menghidupkan kampung, sejatinya adalah membangun Indonesia dari bawah. Upaya itu memiliki akar kuat di kampung
Malang (ANTARA) - Cempluk, awalnya hanyalah kampung biasa di Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kini, kampung yang berbatasan dengan wilayah Kota Malang itu dikenal sebagai kampung budaya dan telah memiliki kalender budaya tahunan berupa Festival Kampung Cempluk yang sudah dikenal secara nasional.
Berkembangnya kampung urban yang berhasil mempertahankan budaya lokalnya itu merupakan buah kerja dari seorang pelaku dan penggerak kebudayaan, Redy Eko Prastyo (45).
Lelaki berambut gondrong yang juga musisi ini sudah 14 tahun lebih membersamai masyarakat Kampung Cempluk, Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, untuk memberdayakan kampung lewat jalur kesenian.
Lewat jalur kebudayaan berbasis tradisi lokal, Redy dan kawan-kawan berhasil menggerakkan warga di lingkar kampus di kawasan Malang itu kini telah merasakan manfaat, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya.
Warga kampung itu tidak tersisih dari akar budayanya karena pengaruh budaya urban. Mereka tetap bisa menikmati kemajuan, namun budaya tradisionalnya tidak tergerus oleh perubahan.
Seiring perubahan fungsi alam dari pertanian menjadi kawasan perumahan, masyarakat Kampung Cempluk yang awalnya petani, beralih keterampilan menjadi tukang bangunan. Bahkan, tukang bangunan dari Kampung Cempluk telah mendapat "lisensi" nonformal mengenai kualitas kerjanya dari masyarakat pengguna.
Kalau ada masyarakat yang membutuhkan jasa tukang bangunan untuk membuat rumah, maka tukang dari Kampung Cempluk selalu menjadi pilihan terbaik.
Selain terdidik untuk berkomitmen pada apa yang dikerjakan, nilai-nilai seni yang dibangun oleh masyarakat setempat juga menjadi penopang bagaimana tukang bangunan dari kampung itu bekerja.
Hasil kerja tukang asal kampung itu terkenal karena kualitas dan keindahannya. Sebagai masyarakat semiurban, warga kampung itu masih melestarikan budaya arisan malam Jumat yang diisi dengan pembacaan Surat Yasin dalam Al-Quran dan tahlilan.
Mereka juga melestarikan budaya diba'an atau selawatan yang lekat dengan tradisi masyarakat desa.
Semua itu merupakan hasil dari yang diupayakan Redy Eko Prastyo, pendatang asal Besuki, Kabupaten Situbondo, yang bersama keluarga kecilnya menetap di Kampung Cempluk sejak belasan tahun silam.
Redy yang memiliki bakat musik mencoba menggerakkan warga untuk menghidupkan aktivitas seni tradisi berbasis kreatif warga yang sempat hilang karena pengaruh kelompok tertentu yang menganggap tradisi itu tidak sesuai dengan tuntunan agama. Akhirnya, warga merespons, dengan menghidupkan tradisi berbasis keguyuban warga, seperti selawatan dan arisan malam Jumat.
Pengaruh kelompok tertentu itu sempat muncul karena banyak warga yang menyewakan rumahnya untuk mahasiswa, sedangkan pemiliknya memilih tinggal di kawasan yang lebih desa.
Setelah budaya tradisional keagamaan itu hidup, para penyewa rumah yang membawa paham keagamaan berbeda dengan budaya di kampung itu, satu persatu meninggalkan Kampung Cempluk.
Akhirnya warga lebih memilih sistem indekos untuk mahasiswa yang ingin tinggal di kawasan tersebut. Dengan demikian, warga tidak kehilangan salah satu sumber penghasilannya dari menyewakan rumah.
Lebih jauh dari sekadar menghidupkan tradisi kampung, wilayah Cempluk sekarang rutin menggelar festival setiap setahun sekali. Cempluk kini dikenal sebagai kampung budaya. Bukan hanya terkenal di wilayah Malang dan sekitarnya, kampung itu juga terkenal ke seluruh penjuru Indonesia. Apalagi Kampung Cempluk sudah tersambung dengan Jaringan Kampung (Japung) Nusantara, yang juga diinisiasi oleh Redy Eko Prasetyo.
Ajang Festival Kampung Cempluk itu mampu menghidupkan dan melestarikan budaya gotong royong dan semakin menguatkan nilai kekerabatan, sekaligus menghidupkan roda ekonomi warga.
Atas dedikasinya membersamai warga Kampung Cempluk, Redy telah mendapatkan penghargaan, baik dari pemerintah daerah maupun pusat, termasuk dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 2019.
Bahkan, dari jerih payahnya itu, Redy memiliki kesempatan mengenyam pendidikan strata tertinggi, yakni S-3 Jurusan Sosiologi di Universitas Brawijaya (UB) Malang dengan beasiswa pendidikan. Ia berterima kasih kepada Pemerintah terkait bantuan beasiswa yang memuluskan jalannya menyelesaikan jenjang tertinggi pendidikan formal itu.
Setelah melalui ujian disertasi berjudul "Dekonstruksi Stigma: Gerakan Kolektif Komunitas Kampung dalam Praktik Kebudayaan di Desa Kalinsongo Kabupaten Malang", penggerak kelompok musik Duo Etnicholic Malang ini berhak menyandang gelar doktor sosiologi.
Dari penelitian partisipatif untuk disertasinya, Redy mendapat kesimpulan bahwa kampung yang selama ini dikesankan sebagai area udik, justru merupakan sumber atau lumbung ilmu pengetahuan, kebudayaan, nilai-nilai, bahkan ekonomi.
Meskipun secara administratif kampung tidak masuk dalam struktur pemerintahan, ketika berbicara tentang Indonesia, maka kampung adalah fondasi yang tidak boleh lagi dipandang sebelah mata.
Menghidupkan kampung, sejatinya adalah membangun Indonesia dari bawah. Jika program ini berjalan masif dan menjadi gerak bersama, mewujudkan Indonesia jaya dan maju, bukan hanya khayalan. Upaya itu memiliki akar kuat di kampung.
Terkait penghargaan dari beberapa pihak atas pengabdiannya pada pemberdayaan kampung itu, bagi Redy, yang paling berkesan dan membahagiakan adalah penghargaan dari rukun warga (RW) setempat di Kampung Cempluk. Penghargaan dari pengurus RW memiliki makna bahwa masyarakat betul-betul merasakan manfaat dari apa yang diperjuangkan secara kolaboratif itu.
Kebahagiaan itu dirasakan Redy karena pada awal-awal hadir dan berbaur dengan warga di Kampung Cempluk, ia tidak langsung diterima dengan baik. Ketika Redy bersemangat memberdayakan berbagai potensi di kampung itu, sempat muncul kecurigaan bahwa di balik kerja sosial itu ada tujuan tertentu.
Redy sempat dicurigai memperoleh banyak dana dari berbagai pihak yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Seiring berjalannya waktu dan gaya hidup yang apa adanya, kecurigaan itu terbantahkan dengan sendirinya.
Pernah gagal
Pencapaian pendidikan bapak dari dua anak itu tidak berjalan mulus. Pria yang mewarisi gen seni dari orang tuanya yang merupakan penggerak seni ludruk di wilayah Besuki, Situbondo, itu pernah gagal menyelesaikan jenjang S-1 di satu perguruan tinggi negeri di Malang.
Akhirnya dia banyak belajar dari kegagalan itu mengenai manajemen waktu dan pengelolaan kesempatan. Redy, kala itu gagal karena lebih menomorsatukan musik, hingga nekat ngamen ke Jerman selama satu tahun dan mengabaikan kuliah. Setelah menikah, ia sadar bahwa pendidikan formal itu sangat penting. Ia kemudian memulai kuliah S-1 di jurusan berbeda dari sebelumnya dan selesai, berkat dukungan istri dan anak-anaknya.
Ketika bekerja di salah satu unit media di kampus Universitas Brawijaya, ia mendapat kesempatan meraih beasiswa pendidikan Indonesia dalam skema pelaku budaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dari S-2 lanjut ke S-3, masih dengan dukungan beasiswa dari Kemendikbud, hingga akhirnya ia berhak menyandang gelar doktor di depan namanya.
Segala upaya Redy memberikan pesan kepada semua pihak, khususnya generasi muda, untuk selalu membuka mata mengenai peluang mengenyam pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian yang bagi Redy merupakan bentuk dari personal social responsibility (PSR) atau tanggung sosial pribadi tidak harus dalam skala besar dan terkesan wah.
Peluang pengabdian di ranah kampung, jika dilakukan dengan komitmen tinggi, pada akhirnya juga bernilai besar untuk bangsa ini. Apa yang tersaji di Kampung Cempluk merupakan perwujudan tanggung jawab sosial pribadi "dari kampung untuk negeri".
Budayawan dari Universitas Indonesia Profesor Melani Budianta yang juga menjadi penguji eksternal disertasi Redy mengemukakan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya luar yang saat ini ada di kampung-kampung.
Upaya dari komunitas penggerak kampung memberikan makna yang luar biasa untuk ketahanan dan ketangguhan budaya di tengah gempuran dari budaya luar yang membawa anak-anak muda kita terpikat. Dengan sinergi antara warga, komunitas penggerak, dan kalangan akademikus, maka pengambangan budaya kampung semakin menemukan makna dan urgensinya.
Apalagi gerakan komunitas, seperti di Kampung Cempluk dan kampung-kampung lainnya yang kini terus bergerak maju itu mendapatkan iklim pendukung dari regulasi, seperti UU Pemajuan Kebudayaan. Iklim pendukung lainnya adalah adanya Dana Desa (DD) yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung gerakan tersebut.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024