komplikasi jangka panjang yang ditimbulkan dari segi kesehatan sangat berbahaya
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menekankan perlunya melibatkan tokoh agama untuk menghapus budaya sunat perempuan atau pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan (P2GP) yang hingga saat ini masih menjadi praktik di beberapa wilayah Indonesia.
“Berdasarkan data survei pengalaman hidup perempuan nasional (SPHPN) tahun 2021, alasan terbanyak (68,1 persen) masyarakat yang menyatakan perempuan masih perlu disunat yakni karena perintah agama, padahal komplikasi jangka panjang yang ditimbulkan dari segi kesehatan sangat berbahaya, bisa disfungsi seksual hingga meningkatkan risiko penularan HIV,” kata Perencana Ahli Muda pada Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Armi Susilowati di Jakarta, Kamis.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 pasal 102 terkait upaya kesehatan sistem reproduksi, Pemerintah juga telah menyatakan menghapus praktik sunat perempuan.
“Namun dalam implementasinya, permintaan sunat perempuan ini masih tinggi di masyarakat, selain karena agama juga karena budaya atau tradisi, padahal, dampak kepada perempuan dan anak terkait sunat perempuan ini sangat luar biasa, tidak hanya pada saat disunat tetapi untuk jangka waktu yang sangat lama akan membuat perempuan menderita,” ujar dia.
Baca juga: KemenPPPA sebut praktik sunat perempuan harus dihapus karena berbahaya
Baca juga: KemenPPPA edukasi ulama dan pesantren cegah sunat pada perempuan
Armi memaparkan berdasarkan survei pengalaman hidup perempuan nasional (SPHPN) terkait P2GP di tahun 2021, sebanyak 50,5 persen perempuan berumur 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami sunat perempuan. Proporsi mereka yang disunat di daerah perkotaan (50,9 persen) hampir sama besar dengan proporsi di daerah pedesaan (50,0 persen).
Wilayah yang paling tinggi melakukan praktik sunat perempuan tersebut yakni Sulawesi sebesar 81,2 persen, disusul Kalimantan 73,1 persen, dan Sumatera 69,7 persen.
“Persepsi masyarakat bahwa 34,8 persen perempuan menyatakan tidak perlu sunat, tetapi yang menyatakan perempuan perlu sunat lebih banyak, yakni 49,3 persen dengan alasan terbesar mengikuti perintah agama, karena agama itu kan seperti doktrin ya,” ucapnya.
Menurutnya, perlu ada peraturan yang lebih jelas dalam PP 28/2024 untuk larangan sunat perempuan dengan jelas karena dampaknya sangat luar biasa.
“Selain itu, fasilitas kesehatan (faskes) juga perlu diedukasi, para tenaga kesehatan (nakes) atau bidan yang melakukan ini perlu tahu bahwa ini dilarang karena hingga kini masih ada faskes yang memberikan layanan P2GP, juga belum semua nakes tersosialisasi terkait peran dan upaya pencegahan sunat perempuan ini,” paparnya.
Baca juga: Kemen PPPA: Pemerintah berkomitmen cegah praktik berbahaya P2GP
Baca juga: Psikolog dukung pencegahan sunat perempuan
Berdasarkan data SPHPN 2021, usia anak perempuan ketika disunat sangat bervariasi, mulai dari ketika baru lahir, beberapa hari, beberapa bulan, hingga usia 2 tahun atau lebih.
Secara keseluruhan di perkotaan dan pedesaan, lebih dari sepertiga (35,2 persen) anak perempuan disunat saat berumur 1-2 bulan, kemudian 20,9 persen ketika berumur 2-9 hari, 20,5 persen ketika berumur 2 tahun atau lebih, dan 9,7 persen ketika berumur 1 tahun.
Armi juga menyebutkan, sekitar 90 persen anak perempuan di perkotaan dan pedesaan disunat oleh ketiga profesi penyunat, yaitu bidan, perawat, mantri, dukun bayi, atau dukun sunat perempuan.
Di perkotaan, proporsi anak perempuan yang disunat oleh bidan/perawat/ mantri merupakan yang terbanyak (54,1 persen), sementara di pedesaan yang terbanyak oleh dukun bayi (34,8 persen) dan bidan/perawat/mantri (34,4 persen).
Baca juga: Kemenkes: Sunat perempuan sangat merugikan perempuan
Baca juga: KPPPA: Sinergi banyak pihak kunci cegah praktik sunat perempuan
Baca juga: Musyawarah Ulama Pesantren terbitkan rekomendasi cegah sunat perempuan
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2024