Jakarta (ANTARA) - Himpunan Pengembangan Ekosistem Alkes Indonesia (HIPELKI) mengatakan, Indonesia masih tergantung kepada bahan baku, komponen, dan teknologi impor, sehingga yang terbangun adalah kemandirian semu (pseudo-resiliency) yang sangat berbahaya untuk masa depan ketahanan alat kesehatan.   

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, Ketua Umum HIPELKI Randy H. Teguh mengatakan bahwa untuk membangun kemandirian alkes, perlu paradigma yang tepat, yaitu bahwa suatu negara yang tidak memiliki ketahanan kesehatan dapat mengalami keruntuhan dalam bidang-bidang esensial lain, termasuk bidang ekonomi.

"Pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa keberadaan rantai pasok tradisional saja tidak mampu mendukung ketahanan alkes, karena itu diperlukan pembentukan suatu sistem organik yang bisa bergerak cepat dan fleksibel, yaitu ekosistem alkes," kata Randy.

Dia menambahkan, pada masa dan setelah Pandemi COVID-19, Pemerintah terus berusaha mendorong kemajuan industri alkes dengan membuka berbagai kesempatan untuk meningkatkan penggunaan alkes dalam negeri dan mendorong kegiatan ekspor.

“HIPELKI mengapresiasi dan mendukung upaya ini, tetapi bila kita kita belajar dari negara lain yang telah lebih dulu mandiri seperti Cina, Korea, India dan Taiwan – industri alkes hanya dapat berkembang bila terbentuk ekosistem alkes yang kuat dan lengkap,” katanya.

Dari sekitar 800 pabrik alkes yang ada saat Pandemi COVID-19, katanya, hanya sekitar 500 pabrik yang masih bertahan, dan hal ini mengkhawatirkan karena mengindikasikan bahwa pembangunan pabrik alkes masih merupakan tindakan reaktif yang tidak berkelanjutan.

Mengutip pendapat Pakar manajemen dari Universitas Indonesia Prof. Rhenald Kasali dalam program Intrigue pada Juli 2024, Randy menyatakan bahwa saat ini Indonesia masih berfokus untuk membangun pabrik alkes dan melakukan proteksi, tetapi belum berfokus untuk membangun industrinya.

Dia menuturkan, pembangunan ekosistem pendukung pabrik alkes masih terhambat, seperti produksi bahan baku, komponen, dan lab pengujian, sehingga harga alkes dalam negeri sulit bersaing dengan alkes impor.

Menurutnya, semua unsur pemerintah perlu bekerja sama untuk membangun ekosistem alkes, dan HIPELKI akan mengambil peran yang strategis untuk menjadi katalisator.

“Selain itu, kolaborasi antara peneliti dan pengusaha untuk melakukan penguasaan dan pengembangan teknologi juga masih jauh dari mulus, meskipun Kementerian Kesehatan RI telah berinisiatif untuk menjembatani kedua unsur ini dengan meluncurkan Pedoman Hilirisasi Penelitian Alkes Nasional pada tanggal 19 Januari 2024 yang lalu,” katanya.

Randy berharap agar pemerintah yang baru tetap konsisten untuk membangun ketahanan kesehatan melalui kemandirian alkes, karena alkes sebagai pendukung layanan kesehatan memiliki posisi yang strategis, meskipun dari segi bisnis memiliki nilai yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan sektor lain, contohnya industri pertambangan.

Baca juga: Kemenkes luncurkan Pedoman Hilirisasi Penelitian Alkes Nasional
Baca juga: Ekosistem alkes bentuk Hipelki, pacu kemandirian alkes nasional
Baca juga: Kemenkes: Perlu tingkatkan wawasan terhadap bahaya alat kesehatan

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024