Nama tanaman itu berarti "jamur" dan "rumput" dalam bahasa Mandarin. Keserbagunaannya merupakan fitur utama, yang memungkinkannya ditanami jamur yang dapat dikonsumsi, menyediakan pakan ternak, dan membantu memerangi desertifikasi.
Kigali/Fuzhou (ANTARA) - Cuaca di Rwanda pada awal Agustus 2024 terasa hangat dan kering, dan para petani muda di Provinsi Selatan negara itu merayakan panen yang melimpah.

Tangan mereka tidak menggenggam jagung atau padi, tetapi jamur, yang dibudi-dayakan dengan bantuan teknologi yang ditransfer dari sebuah negara yang lokasinya sangat jauh ke "negeri seribu bukit" di Afrika tersebut.

Turut hadir dalam perayaan itu adalah Profesor Lin Zhanxi. Sejak 1980-an, ilmuwan berusia 80-an tahun tersebut telah memimpin tim penelitian mengenai teknologi "Juncao" di Provinsi Fujian, China tenggara. Teknologi rumput hibrida ini memungkinkan jamur tumbuh di atas substrat berbasis rumput alih-alih di pohon yang ditebang, yang menjadi solusi bagi ancaman industri jamur terhadap hutan.

Nama tanaman itu berarti "jamur" dan "rumput" dalam bahasa Mandarin. Keserbagunaannya merupakan fitur utama, yang memungkinkannya ditanami jamur yang dapat dikonsumsi, menyediakan pakan ternak, dan membantu memerangi desertifikasi.

Berkat promosi yang aktif dan visioner oleh Presiden China Xi Jinping, "Juncao" berkembang pesat di dalam dan luar China, meningkatkan taraf hidup, dan mendorong pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang di seluruh Asia-Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin.


Jalan keluar dari kemiskinan 

Sebelum dikenal sebagai "bapak Juncao", Lin dibesarkan di daerah pedesaan miskin di pegunungan di Fujian. Pengalaman pribadinya terkait kemiskinan sangat menentukan komitmennya terhadap teknologi "Juncao".

Setelah puluhan tahun bekerja, Lin dan timnya berhasil dalam menyeleksi dan membudi-dayakan jenis tanaman herba (rerumputan) dengan hasil panen yang tinggi dan tahan terhadap kekeringan serta salinitas yang dapat digunakan sebagai pengganti kayu untuk ditanami jamur yang dapat dikonsumsi dan dimanfaatkan sebagai obat-obatan.

Pada acara Konferensi Tinjauan Bantuan untuk Perdagangan Global (Aid-for-Trade Global Review Conference) kesembilan yang diselenggarakan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa pada Juni, Lin merefleksikan bagaimana teknologi "Juncao" mengawali perjalanan globalnya. Pada 1992, Lin mempresentasikan Juncao untuk pertama kalinya kepada khalayak luas di sebuah pameran penemuan internasional, yang juga diadakan di Jenewa. Di Swiss, Lin menerima banyak panggilan untuk mempelajari lebih lanjut soal teknologi tersebut.

Lin mengenang bagaimana Xi dengan penuh semangat mendukung penggunaan sarana ilmiah dan teknologi untuk memerangi kemiskinan.

Pada 1997, Xi, yang saat itu menjabat sebagai wakil sekretaris Komite Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC) Provinsi Fujian, mencantumkan teknologi "Juncao" sebagai bagian dari upaya pengentasan kemiskinan di provinsi itu bersama Daerah Otonom Etnis Hui Ningxia di China barat laut. Setelah menerima penugasan tersebut, Lin segera mengajak timnya, serta membawa benih rumput dan jamur ke Xihaigu, daerah yang dilanda kemiskinan di Ningxia.

Saat ini, teknologi "Juncao" digunakan di 31 provinsi di seluruh China dan berkontribusi signifikan dalam mengentaskan kemiskinan dan merevitalisasi area-area pedesaan.
 
   Lin Zhanxi (kedua dari kanan) bertukar keterampilan menanam Juncao dengan para petani di Kota Minning, Yinchuan, Daerah Otonomi Hui Ningxia, China barat laut, 29 Maret 2021. (Xinhua/Wang Peng).


Dengan dukungan Xi, sebuah proyek percontohan untuk memperkenalkan teknologi "Juncao" di Papua Nugini diluncurkan pada tahun 2000 dan menjadikan proyek itu sebagai salah satu penerapan teknologi "Juncao" pertama di luar negeri

Didorong oleh dedikasi dan semangat kepeloporan mereka, Lin dan peneliti China lainnya sejak saat itu memperkenalkan teknologi tersebut ke 106 negara dan kawasan di seluruh dunia.

Berbekal misi untuk mengentaskan kemiskinan di seluruh dunia, para ilmuwan China telah menerapkan teknologi "Juncao" pada beberapa kondisi yang menantang. Di dataran tinggi timur di Papua Nugini, mereka menyaksikan suku-suku yang masih mempraktikkan metode pertanian tebang dan bakar. Di Rwanda, keluarga yang tidak memiliki akses ke hewan ternak atau traktor bekerja di ladang berlumpur dengan hanya menggunakan cangkul. Di Republik Afrika Tengah, mereka mengamati dampak buruk kelaparan pascakonflik.

Selama tahun-tahun tersebut, Lin menghadapi perampokan dengan todongan senjata, malaria, penyakit ketinggian (altitude sickness), dan tinggal di pos-pos terdepan di daerah terpencil tanpa listrik atau air dalam periode yang lama. Menyaksikan kemiskinan ekstrem di negara-negara berkembang semakin menguatkan komitmen Lin terkait "Juncao".

"Kami pergi ke lokasi-lokasi paling miskin dengan niat yang tulus untuk membantu masyarakat," ujar Lin. (Bersambung)


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Indra Arief Pribadi
Copyright © ANTARA 2024