Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan massa sangat rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan
Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan penanganan anak yang terlibat demo tidak boleh melanggar konstitusi dan Undang-Undang terkait perlindungan anak.

Hal tersebut disampaikan Anggota KPAI Sylvana Maria dalam konferensi pers di Jakarta  Rabu, merespons banyaknya kasus anak yang terlibat demo mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada Kamis hingga Jumat (22-23 Agustus 2024) yang lalu.

“KPAI menyerukan bahwa penanganan yang dilakukan aparat tidak boleh bertentangan dengan konstitusi maupun Undang-Undang yang melindungi hak-hak anak Indonesia,” ujarnya.

Sylvana menyesalkan masih banyaknya pelanggaran hak-hak anak yang masih terus terjadi, juga menyatakan keprihatinan mendalamnya kepada anak-anak yang telah menjadi korban eksploitasi dan kekerasan pada aksi-aksi massa yang masih berlangsung hingga kemarin, Selasa (27/8).

“Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan massa sangat rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan yang berisiko terhadap kesehatan fisik, psikis, dan keselamatan nyawa anak,” katanya.

Berdasarkan temuan KPAI, terdapat berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak-hak anak pada demonstrasi yang lalu, yakni kekerasan fisik saat ditangkap aparat penegak hukum, dan terkena gas air mata yang digunakan penegak hukum untuk membubarkan massa.

Kemudian, kekerasan psikis berupa ketakutan dan trauma karena anak-anak ditangkap dengan kekerasan, terputus akses komunikasi dengan orang tua atau keluarga saat pemeriksaan, dan diperiksa cukup lama di malam hari hingga menjelang subuh saat proses penyidikan.

“Pengabaian hak atas kesehatan juga terjadi karena anak-anak dibiarkan tidak makan sampai larut malam dan kedinginan saat diperiksa di ruangan ber-AC pada malam hari tanpa alas kaki dan dengan pakaian yang tipis,” katanya.

Ia melanjutkan, pengabaian hak anak untuk didampingi dan mendapatkan bantuan hukum di tiap tingkat pemeriksaan juga terjadi, serta eksploitasi kebebasan anak karena dimobilisasi baik secara langsung maupun melalui grup Whatsapp tanpa informasi yang sesuai dengan usia dan perkembangan mental-emosional mereka.

“Pengabaian hak kebebasan anak juga terjadi karena anak-anak ditangkap dan diperiksa di kantor kepolisian walaupun tidak terlibat dalam aksi dan hanya berlaku sebagai penonton,” paparnya.

Sylvana juga menyebutkan, pengamanan aksi-aksi demonstrasi belum optimal karena belum melibatkan tim pengaman yang berasal dari polisi wanita (polwan) maupun unit perlindungan perempuan dan anak.

“KPAI mengingatkan para pemangku kepentingan bahwa kecenderungan mobilisasi dan potensi eksploitasi anak dalam setiap tahapan pilkada terutama masa kampanye yang rentan menyalahgunakan anak dalam politik untuk segera diantisipasi, dan apabila terjadi harus ditangani secara komprehensif, sesuai dengan semangat perlindungan anak,” tuturnya.

Ia menegaskan, pihak Polri juga sebaiknya tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan represif dalam menyikapi aksi massa, termasuk terhadap anak-anak, serta menerapkan Undang-Undang (UU) Nomor: 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam memproses hukum anak-anak yang ditangkap dalam aksi massa protes.

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024