Jakarta (ANTARA) - Tahukah Anda ada peninggalan akulturasi budaya Portugis dalam baju pengantin adat Maluku? Hal itu tidak lepas dari keberadaan warga keturunan Portugis yang umumnya disebut sebagai Mustiza atau Mestiezen oleh masyarakat setempat.

Secara harfiah Mustiza dan Mestiezen berarti campuran. Akulturasi budaya Ambon dengan Portugis menghasilkan pakaian adat pernikahan yang disebut Pengantin Nona Canela atau dikenal juga dengan nama baju mustiza, baju pono, atau baju basumpa.

Baju mustiza atau baju basumpa menjadi bagian penting dalam adat pernikahan masyarakat Maluku, khususnya Ambon.

Biasanya, dua hari sebelum pernikahan ada prosesi pengantaran baju mustiza atau baju basumpa untuk calon mempelai perempuan oleh seorang jujaro atau anak gadis ditemani oleh mata ina atau seorang ibu dari pihak calon mempelai laki-laki.

Prosesi itu kemudian dibalas oleh keluarga perempuan mengantarkan seperangkat pakaian nikah berupa celana panjang dan baniang untuk calon mempelai laki-laki. Baju pengantin ini berwarna putih, berlengan panjang dari kain brokat dengan variasi motif renda kecil.

Baju ini memiliki motif baju cele leher bundar terbelah pada leher, bagian tangan kancing dari baju ditutup dengan band tangan yang divariasi dengan manik-manik warna emas.

Pada bagian kiri pakaian akan disisipkan lenso pinggang yang terbuat dari sisa kain jenis brokat tadi dan divariasi dengan renda, serta pengantin memegang lenso tangan terbuat dari kain putih yang dibordir.


Baju pengantin adat Maluku untuk perempuan

Salah satu aksen khas dari baju pengantin adat Maluku untuk calon mempelai perempuan adalah keberadaan Cole. Cole merupakan baju dalam atau kutang, yang dipakai sebelum memakai baju atau kebaya.

Cole berlengan panjang tapi ada juga yang berlengan sampai ke sikut dan pada bagian atasnya diberi renda. Cole ini terbuat dari kain putih dengan bagian depan cole memakai kancing.

Pada bagian bawah pakaian adat pengantin perempuan, terdapat kain pengantin yang terbuat dari kain saten merah atau juga beludru merah yang dihiasi dengan manik-manik warna emas yang diikat dengan tali kaeng yang diberi renda agar tidak terlepas.

Memakai mistiza yang berbentuk huruf U panjangnya ±60 centimeter dipakai dari depan ke belakang, berwarna merah diberi manik-manik dan diberi renda emas dan memakai sejumlah aksesoris seperti kalung motif mutiara besar, anting-anting.

Memakai alas kaki bernama cenela sejenis slop yang dibuat dari kulit. Ujung slop atau bagian atas cenela dilapisi dengan kain beludru yang dihiasi hiasan bunga kecil yang dinamakan Laborcis yang berwarna keemasan, dan memakai kaos kaki warna putih.

Pengantin perempuan memakai aksesoris di bagian kepala dengan menggunakan sanggul yang dihiasi dengan sosoboko yaitu kembang lingkar konde yang disebut bunga ron yang dibuat dari papeceda dengan 9 buah kembang goyang atau 7 bauh sebagai lambang Patasiwa yang terbuat dari emas.

Sanggul tersebut nantinya diperkuat dengan tusuk konde yang disebut nano-nano dan juga sisir konde atau sanggul, berwarna keemasan. Terdapat renda hitam yang disebut pokis dibuat dari kain saten atau renda gigi anjing ditaruh di atas dahi di depan konde untuk pengantin yang masih gadis.


Baju pengantin adat Maluku untuk laki-laki

Untuk baju pengantin laki-laki yang memakai pakaian adat ini, terdiri dari kebaya dansa semacam jas yang dipakai pada bagian luar berbahan saten atau beludru merah, tanpa kancing berlengan panjang, ada hiasan renda dan warna keemasan pada pinggiran kebaya dansa.

Kemudian sebelum memakai kebaya dansa, pengantin laki-laki memakai baniang putih yang dipakai pada bagian dalam dari kebaya dansa. Baning putih berbahan saten dengan kancing warna emas dan baniang leher bundar, serta berlengan panjang.

Memakai aksesoris berupa band pinggang berwarna merah diikat pada bagian dalam dari kebaya dansa. Pinggiran band pinggang dipakai renda keemasan dan variasi manik-manik emas, serta memakai celana panjang hitam dan sepatu hitam.

Baca juga: Keunikan busana pengantin adat Aceh
Baca juga: Lebih dekat dengan pakaian pengantin Sumatera Barat

Pewarta: Sri Dewi Larasati
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2024