Brussel (ANTARA) - Rencana Komisi Eropa untuk memberlakukan tarif hingga 36,3 persen terhadap kendaraan listrik (electric vehicle/EV) buatan China memicu kekhawatiran di kalangan pakar industri dan pelaku bisnis di seluruh Eropa.

Para kritikus berpendapat bahwa langkah itu dapat memperburuk isu daya saing Uni Eropa (UE), menghambat transisi hijau di kawasan tersebut, dan meningkatkan ketegangan perdagangan dengan China alih-alih melindungi industri otomotif Eropa seperti yang diharapkan.

Michael Schumann, Ketua Dewan Asosiasi Federal Jerman untuk Pembangunan Ekonomi dan Perdagangan Luar Negeri, mengecam usulan UE itu sebagai hal yang "keliru", menekankan penolakan yang kuat dari asosiasi tersebut.

"Industri EV China telah dan akan terus menjadi tolok ukur inovasi global," ujar Schumann, sembari menambahkan bahwa para produsen mobil China mencatat langkah yang signifikan dalam teknologi pintar, meningkatkan kemampuan penelitian dan pengembangan (litbang) mereka, dan aktif berinvestasi dalam industri otomotif Eropa, sehingga berkontribusi terhadap evolusi sektor tersebut.

Tadas Povilauskas, ekonom SEB Bank di Lithuania, menggambarkan penyelidikan UE terhadap subsidi industri otomotif China sebagai "langkah politis". Dia menyatakan bahwa gelombang impor EV China akan mengintensifkan persaingan bagi produsen mobil Eropa, sehingga mendorong mereka untuk mencari cara agar tetap kompetitif.

Zoltan Kiszelly, direktur Pusat Analisis Politik di Institut Szazadveg Hongaria, melabeli rencana UE tersebut sebagai hal yang "picik", sembari menyatakan bahwa rencana itu muncul saat para produsen Eropa kesulitan dalam menghadapi merosotnya penjualan EV di pasar inti mereka yakni Eropa.

Kiszelly berpendapat bahwa akar dari tantangan daya saing Eropa terletak di dalam UE, bukan pada subsidi China.

"Tindakan terbaik adalah mendorong persaingan untuk menurunkan harga dan memacu produsen mobil Eropa agar berinovasi lebih lanjut," tutur Kiszelly. "Peningkatan lebih baik dicapai lewat persaingan alih-alih isolasi dan pemisahan (decoupling)."

Kiszelly menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Barat telah diuntungkan lewat kehadiran mereka di China selama beberapa dekade dan mendesak mereka agar menghadapi persaingan dari produsen EV China alih-alih berupaya membatasi atau melarang mereka.

Menghambat
Para pakar dan pejabat juga menyuarakan kekhawatiran perihal potensi kontradiksi antara ambisi hijau UE dan kebijakan tarifnya.

"Tarif antisubsidi sementara UE terhadap EV China menghambat kerja sama yang saling menguntungkan dan mengganggu transisi hijau dan rendah karbon," demikian bunyi peringatan dari Schumann.

Luigi Gambardella, Presiden ChinaEU, asosiasi digital internasional yang berbasis di Brussel, mengkritik langkah-langkah proteksionis UE tersebut, sembari menyatakan bahwa langkah itu berisiko menekan kemajuan teknologi mobilitas di masa mendatang.

Dia menyerukan berbagai upaya untuk memajukan investasi bersama, membina pertumbuhan bersama, dan memastikan bahwa manfaat teknologi EV dapat lebih disebarluaskan.

"EV sangat penting bagi transisi Eropa menuju ekonomi rendah karbon," kata Gambardella, seraya menunjukkan bahwa biaya yang tinggi telah menimbulkan kendala yang signifikan terkait pengadopsian EV secara lebih luas. Menurutnya, usulan tarif itu dapat memperlambat adopsi konsumen terhadap kendaraan listrik, menggerogoti tujuan iklim Eropa, dan menunda peralihan dari bahan bakar fosil.

"Kami berharap dapat melihat lebih banyak variasi merek EV di pasar, terutama model China yang hemat biaya, untuk mempercepat transisi hijau dan rendah karbon Jerman," ujar Schumann, sembari menyoroti peran China dalam transformasi hijau global pada sektor transportasi.

Mladen Plese, seorang analis politik Kroasia, menuturkan bahwa warga Eropa kembali menerapkan teknologi klasik yang sudah ketinggalan zaman pada industri otomotif karena tingginya harga EV. "Jika harga EV terus tinggi, (maka) hal itu akan terus berlanjut, dan ini akan mengancam transisi hijau di Eropa."


Dampak jangka panjang
Para pakar khawatir penerapan tarif itu dapat menimbulkan potensi dampak jangka panjang terhadap industri otomotif UE dan hubungan perdagangan yang lebih luas dengan China.

Triinu Prits, kepala divisi kebijakan perdagangan luar negeri dan organisasi ekonomi internasional di Kementerian Luar Negeri Estonia, menyatakan bahwa meski Estonia tidak memiliki industri otomotif yang memadai, langkah tarif UE tersebut tetap akan memengaruhi subkontraktor, importir, penyedia layanan perawatan mobil, dan konsumen di negara tersebut.

"Tarif dapat menjadikan pasar Eropa kurang menarik bagi perusahaan China yang ingin berkolaborasi atau memasuki pasar Eropa," demikian Gambardella memperingatkan. Dia menyampaikan bahwa langkah proteksionis secara jelas merupakan "ancaman terhadap kondisi pasar saat ini" dan dapat menimbulkan konsekuensi yang lebih luas terhadap mobilitas Eropa di masa mendatang.

"Segala bentuk langkah politis atau ekonomi, termasuk potensi tindakan balasan, dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak terduga," tutur Prits.

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024