Jakarta (ANTARA) - Peneliti sekaligus dosen Universitas Wageningen Belanda, Aritta Suwarno, Ph.D mengatakan praktik pertanian paludikultur bisa diterapkan sebagai solusi berbasis alam dalam upaya merestorasi lahan gambut.

Paludikultur adalah praktik pertanian yang bisa digunakan untuk merestorasi tanah dengan memanfaatkan jenis tanaman lokal.

Metode ini tidak membutuhkan proses pengalihan air dari titik tertentu untuk mengeringkan tanah atau drainase karena menggunakan bibit jenis tanaman alternatif yang dapat tumbuh di lahan gambut basah.

Aritta dalam sebuah sesi diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Selasa, menjelaskan, metode ini telah dipraktikkan di Belanda sebagai langkah untuk mengantisipasi risiko pemadatan serta penurunan tanah akibat pemompaan air dari tanah dalam jumlah besar.

Adapun tanaman yang digunakan dalam paludikultur di Belanda yakni berasal dari spesies rerumputan.

"Paludikultur di Belanda itu menggunakan semacam spesies rumput kalau di sini mungkin seperti purun tapi di sana itu mereka gunakan untuk atap rumah," kata Aritta.

Spesies tanaman yang digunakan dalam paludikultur, ujar dia, dapat disesuaikan dengan jenis-jenis tanaman produktif yang familiar dengan para petani di suatu daerah agar mereka terdorong untuk mengadopsi praktik tanam tersebut.

"Pemilihan jenis-jenis paludikultur disesuaikan dengan pasarnya dulu karena itu yang bisa digunakan untuk meyakinkan para petani untuk mengubah model bisnisnya, kemudian yang kedua adalah bagaimana mereka bisa familiar dengan sistem pertanian yang baru," paparnya.

Aritta menyebutkan praktik paludikultur memiliki beberapa keunggulan sebagai metode restorasi lahan gambut berbasis alam. Pertama, proses penanaman tidak memerlukan proses drainase dan cukup menggunakan cadangan air yang tersimpan di lahan gambut.

Kedua, jenis tanaman yang digunakan dalam praktik ini merupakan spesies lokal yang lebih familiar dengan para petani. Ketiga, hasil produksi dari tanaman-tanaman tersebut memiliki nilai ekonomi. Salah satunya pohon sagu, yang bisa hidup di area tergenang air sekitar sungai dan bisa memproduksi 150-300 kilogram pati basah per pohon.

Oleh karenanya, paludikultur tidak hanya dapat bermanfaat terhadap keberlanjutan tanah, tapi juga tetap memberikan keuntungan kepada petani.

"Kita bicara mengenai jenis tanaman yang tidak hanya lokal, tetapi memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga bisa berkontribusi terhadap ekonomi lokal," imbuh peneliti yang memiliki latar belakang ilmu ekologi dan manajemen ekosistem itu.

Terakhir, praktik pertanian ini lebih mudah dipraktikkan oleh petani karena mereka telah memiliki pengalaman dalam membudidayakan jenis tanaman lokal yang digunakan.

"Masyarakat lokal itu sedikit banyak memiliki pengalaman, baik itu menggunakan secara langsung maupun tidak langsung dalam melakukan budidaya dari spesies-spesies tersebut," katanya.

Baca juga: KLHK sebut pengelolaan gambut perlu perhatikan fisiografi ekosistem

Baca juga: Peneliti: Paludikultur dapat jadi solusi pemanfaatan gambut lestari

Pewarta: Farhan Arda Nugraha
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024