Namun, masalah di lapangan banyak petani yang mengaku belum bisa mengakses pupuk bersubsidi.....
Jakarta (ANTARA) - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi sektor pertanian Indonesia, yang harus menjadi perhatian serius bagi pemerintahan baru.

Dalam sebuah diskusi yang diikuti, di Jakarta, Selasa, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Abra Talattov mengungkapkan tantangan tersebut, antara lain inefisiensi subsidi pupuk, keterbatasan akses terhadap teknologi, ketimpangan akses pembiayaan, dan bantuan sosial bagi keluarga petani yang belum merata.

Abra menjelaskan, anggaran ketahanan pangan sebetulnya relatif meningkat dalam dua tahun terakhir. Anggaran ketahanan pangan sebesar Rp80,7 triliun pada 2019 naik menjadi Rp114,3 triliun pada 2024. Namun, di sisi lain, alokasi anggaran untuk subsidi pupuk justru menurun.

Pada 2019 misalnya, anggaran subsidi pupuk mencapai Rp34,3 triliun, tetapi dalam APBN 2024 anggaran subsidi pupuk turun menjadi Rp26,7 triliun. Padahal, harga pupuk dunia terus merangkak naik akibat konflik global, terutama perang Rusia dan Ukraina.

Pemerintah dalam beberapa kesempatan menyampaikan pengurangan anggaran pupuk subsidi dilakukan, karena pemerintah tengah berupaya melakukan reformasi subsidi pupuk, salah satunya dengan penerapan skema bantuan langsung pupuk (BLP) kepada petani melalui kartu tani atau kartu tani digital secara bertahap.

“Namun, masalah di lapangan banyak petani yang mengaku belum bisa mengakses pupuk bersubsidi, karena adanya persoalan birokrasi di desa dan masih terjadinya praktik politisasi terhadap akses subsidi pupuk,” kata Abra.

Tantangan lainnya adalah program bantuan sosial seperti program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan non tunai (BPNT), dan bantuan langsung tunai (BLT) Desa yang belum sepenuhnya menjangkau keluarga petani dengan tingkat pendapatan terendah. Abra menyebut terdapat 52,7 persen keluarga petani di tingkat pendapatan terendah belum mendapat berbagai jenis bantuan sosial tersebut.

Ia lebih lanjut juga menyoroti ketimpangan akses petani terhadap teknologi digital dan internet.

Misalnya, akses digital antara petani di Jakarta dan NTT. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 64,3 persen keluarga petani di Jakarta memiliki perangkat digital, sedangkan di NTT hanya 7,5 persen. Persentase pemanfaatan internet pun jauh berbeda, yakni 63 persen di Jakarta dan hanya 4 persen di NTT.

Selanjutnya, akses petani terhadap pembiayaan, khususnya Kredit Usaha Rakyat (KUR), juga dinilai masih sangat terbatas, terutama di wilayah timur Indonesia.

Berdasarkan data BPS, lebih dari 20 persen petani di Gorontalo yang mendapatkan KUR, hanya 0,5 persen yang mendapat pelatihan. Situasi serupa juga terjadi di Provinsi Papua, di mana baru 1,2 persen petani yang mendapat pembiayaan KUR.

“Ini akan jadi PR cukup berat bagi pemerintahan mendatang bagaimana memastikan pembiayaan untuk sektor pertanian, baik pembiayaan yang dialokasikan oleh anggaran negara maupun sektor komersial, bisa menjangkau petani, khususnya di timur Indonesia,” katanya pula.
Baca juga: Jokowi: Swasembada pangan proses yang panjang karena tantangan iklim
Baca juga: BPS sebut umur petani yang menua jadi tantangan pertanian


Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024