Jakarta (ANTARA) - Aceh dikenal sebagai daerah yang kaya akan budaya dan tradisi yang khas. Salah satu ciri khas yang paling menonjol dari Aceh adalah baju adatnya. Baju adat Aceh bukan hanya sekadar pakaian, melainkan juga menjadi simbol dari identitas dan kekayaan dari budaya Aceh yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Linto Baro
Pakaian adat Linto Baro diperkirakan sudah dikenakan oleh masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan Perlak dan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Pada masa itu, Linto Baro menjadi pakaian adat yang digunakan oleh pria dewasa ketika menghadiri upacara adat atau acara pemerintahan. Setiap elemen dari Linto Baro memiliki makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Pakaian adat Linto Baro terdiri dari beberapa bagian penting yaitu Meukasah, Siluweu, Ijo korong, rencong dan atasan meukeutop.
Baju atasan Linto baro disebut dengan Meukasah yang merupakan baju berbahan sutra yang ditenun. Meukasah dibuat dengan warna-warna yang gelap, biasanya adalah warna hitam yang melambangkan kebesaran.
Kemudian, celana panjang yang disebut dengan Siluweu yang biasanya memiliki warna senada dengan meukasah. Pada bagian bawah siluweu terdapat hiasan yang dibuat dari benang emas.
Pakaian adat ini dilengkapi dengan Ijo Korong yang merupakan kain sarung yang cara pemakaiannya adalah dililitkan di pinggang, kain ini digunakan untuk menambahkan kewibawaan dari seorang pria.
Selanjutnya adalah Rencong yaitu senjata khas yang merupakan senjata tradisional Aceh. Rencong atau Siwah ialah sebuah belati yang seperti huruf L, yang sisi kepalanya dibuat dari perak atau emas.
Tak ketinggalan penutup kepala Meukeutop yang dibuat dengan kain sutera. Terdapat lima warna yang tersedia pada meukeutop. Setiap warna dari penutup kepala ini memiliki makna yang berbeda. Warna merah menyimbolkan kepahlawanan, hijau menyimbolkan agama Islam, kuning menyimbolkan kesultanan, hitam menyimbolkan keteguhan, dan putih menyimbolkan kesucian.
Daro Baro
Daro Baro merupakan sebutan untuk pakaian tradisi Aceh untuk wanita. Berbeda dengan pakaian laki-laki yang cenderung memiliki warna gelap, daro baro memiliki tampilan warna yang cerah seperti seperti hijau, kuning, merah, dan ungu.
Baju adat daro baro dibuat berdasarkan budaya arab, melayu dan China namun tetap menampilkan kesan yang Islami. Desain dari baju adat ini memiliki tujuan untuk menutupi lekuk tubuh wanita. Daro baro terdiri dari baju kurung, celana cekak musang, penutup kepala dan juga perhiasan.
Baju kurung dibuat dari kain sutera yang ditenun dengan pola dari benang emas. Baju ini dilengkapi dengan sarung songket yang berguna untuk menutupi sisi pinggul wanita.
Songket ini akan dililitkan di area pinggang dan di ikat menggunakan tali pinggang yang dibuat dari perak atau emas, yang disebut dengan Taloe Ki leng Patah Sikureueng. Dan di bagian leher atau kerah ada perhiasan wanita ciri khas Aceh, Boh Dokma.
Kemudian pada bagian celana pakaian adat ini disebut dengan cekak musang. Cekak musang mempunyai tampilan yang melebar ke bawah dan memiliki warna terang senada dengan pakaian kurung yang dikenakan. Celana ini dilapis dengan sarung tenun yang panjangnya sampai ke lutut.
Selanjutnya, pakaian adat Daro Baro juga dilengkapi dengan beragam perhiasan. Perhiasan yang dikenakan adalah Patam Dhoe yakni perhiasan berupa mahkota, Subang atau anting-anting, dan Taloe Tokoe Bieung Meuih yakni perhiasan berbentuk kalung.
Baca juga: Mengenal pakaian adat Jawa Tengah dan filosofinya
Baca juga: Mengenal nama dan keunikan jenis baju adat Bali
Baca juga: Para menteri mengenakan ragam pakaian adat saat upacara perdana di IKN
Pewarta: Allisa Luthfia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024