Menurutnya, bila Putu berpenghasilan hingga ratusan milyar dalam sehari, hasilnya akan bertolak belakang dengan kredo keseniannya "Bertolak Dari yang Ada".
Ia berandai-andai, bila Putu Wijaya punya uang ratusan milyar, tentu aktor-aktornya di Teater Mandiri memakai sepatu bermerk.Properti yang digunakan pun bukan lagi mobil dari kardus, melainkan Lamborghini sungguhan.
"Saya sangat bersyukur Mas Putu dan Teater Mandiri masih dikaruniai kemiskinan.Jadi, mereka bersiasat secara cerdas," kata Butet sambil bercanda, saat memberikan sambutan pada peluncuran buku "Bertolak dari yang Ada" di Salihara, Jumat.
"Aneh, konsisten kok miskin. Hahaha. Tapi, penonton pun menikmati siasat tidak terduga itu," tambahnya.
Di hari jadinya yang ke-70, teman-teman Putu Wijaya menulis tentang sang seniman. Semuanya dimuat dalam buku "Bertolak Dari yang Ada".
Butet awalnya tidak pernah berpikir suatu saat akan berteman dengan sosok Putu Wijaya.
Mas Putu, begitu panggil Butet, adalah teman ayahnya Bagong Kussudiardjo.
"Mas Putu temannya ayah saya. Sekarang jadi teman anaknya. Jadi, Mas Putu itu cah nom (anak muda)," canda Butet.
Ia mengenal sosok Putu Wijaya dari ayahnya. Kebetulan sang ayah saat itu membuat lukisan diri Putu Wijaya. Saat itu, Butet belum genap berusia 13 tahun.
Selepas sekolah menengah, ia berkesempatan melihat dunia teater yang digeluti Putu Wijaya.Perbedaan usia membuat Butet merasa Putu berada jauh di luar jangkauannya.
"Nggak nyangka suatu saat bisa jadi teman," katanya.
Sebagai puncak kegiatan "70 Tahun Putu Wijaya"akan ada pementasan "Bila Malam Bertambah Malam" (11 April), "HAH" (12 April), dan "JPRET" (13 April) di Teater Salihara.(*)
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014