Jakarta (ANTARA) -
Pengamat bola basket, Hisia Martogi Lumban Gaol mengkritisi syarat minimal dukungan 15 pengurus provinsi (pengprov) untuk menjadi Calon Ketua Umum PP Perbasi.

Menurut Hisia Martogi Lumban Gaol persyaratan tersebut terlalu mengada-ada dan melanggar AD/ART Perbasi dan FIBA STATUTA.

"Karena syarat yang dibuat melanggar AD/ART dan FIBA statuta," ujar Hisia Martogi dalam keterangan resmi, Selasa.
 
PP Perbasi bakal menjalankan Musyawarah Nasional pada 28-30 Oktober 2024. Salah satu agenda penting yakni memilih Ketua Umum periode 2024-2028.
 
Togi, sapaan akrabnya, melanjutkan bahwa statuta FIBA pada artikel 9.7 menyatakan federasi nasional harus melaksanakan proses pemilihan secara demokrasi, transparan dan akuntabilitas yang dilakukan empat tahun sekali.
 
Sedangkan, menurut Anggaran Dasar Perbasi pasal 18.2 yang berbunyi Munas dilaksanakan empat tahun sekali dan Anggaran Rumah Tangga pasal 30.1 yang berbunyi membentuk panitia penyelenggara tiga bulan sebelum berakhirnya masa bakti.
 
"Nah dari beberapa pasal, tidak ada sebuah isyarat untuk membuat aturan baru oleh tim penjaringan. Apalagi aturan yang bertentangan dengan semangat demokrasi. Semangat perubahan dan mencari sosok untuk menjadi pemimpin organisasi nasional bola basket," ujar pria yang pernah jadi pengurus PP Perbasi 2015-2019 itu.

Baca juga: Yos Paguno ambil formulir untuk Caketum PP Perbasi 2024-2028
 
Togi membeberkan, AD/ART sudah menjelaskan dengan tegas bahwa peserta Munas dan pemilik suara adalah Pengprov serta pengurus kabupaten/kota. Oleh sebab itu, hak yang sama alias azas egaliter untuk bisa memberikan dukungan kepada para calon.
 
Baginya, tidak ada jaminan seseorang yang tidak dapat dukungan dari Pengprov adalah sosok yang tidak layak memimpin organisasi. Pun demikian, belum tentu sosok yang mendapatkan dukungan banyak dari para pengprov menjadi orang yang sangat baik akan memimpin organisasi.

"Kenapa tidak saja membuat aturan seorang bakal calon adalah seorang anak raja, keponakan raja atau seorang konglomerat," kata Togi.

"Biarlah peserta Munas (pemilik suara) menjadi hakim dan memutuskan untuk memilih pilihannya bukan dihambat dengan aturan yang tidak ada sama sekali di FIBA statuta dan AD/ART Perbasi," imbuh Togi.
 
Selain itu, Togi juga mengkritisi adanya kewajiban caketum Perbasi membayar 500 juta Rupiah. Menurut Togi, uang dalam jumlah berapapun tidak menunjukkan bahwa seseorang mempunyai kompetensi memimpin dan orang yang tidak punya uang tidak layak memimpin.
 
"Dalam kepemimpinan bukan uang yang menjadi patokan. Maka oleh dari itu perlu dikoreksi bunyi syarat atau kriteria ini, dan menurut saya, panitia hanya menampung para calon saja tidak berhak memutuskan sah atau tidaknya seorang calon," ucap Togi.
 
Karenanya, semua calon wajib berkomunikasi dengan seluruh pengurus basket se Indonesia. Bukan malah menjadi kubu-kubuan dengan proses dukung mendukung calon tertentu.

"Walaupun itu sah-sah saja, tapi yang menjadi hal utama adalah persatuan seluruh masyarakat bola basket untuk meraih prestasi setinggi-tingginya," kata Togi.

Baca juga: Rencana Munas PP Perbasi, Danny Kosasih: Bisa naik, harus bisa turun

Pewarta: Fajar Satriyo
Editor: Teguh Handoko
Copyright © ANTARA 2024