Karachi, Pakistan (ANTARA) - Pakistan dengan cepat kehilangan beberapa spesies burung pegar liar yang langka akibat serangkaian ancaman termasuk degradasi habitat, perburuan, perubahan iklim, dan campur tangan manusia.

Para ahli satwa liar memperingatkan bahwa kepunahan mereka akan menjadi "bencana" bagi ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Di Indonesia, burung pegar dikenal dengan nama burung kuau. Burung kuau mencakup beberapa spesies yang tersebar di berbagai wilayah di Asia, termasuk Pakistan dan Indonesia.

Contoh burung kuau di Indonesia adalah burung Kuau Raja (Argusianus argus) yang terkenal dengan bulu ekor jantannya yang panjang dan berornamen indah.

Akibat meningkatnya kehilangan habitat yang disebabkan oleh perubahan iklim, deforestasi, dan perburuan, populasi burung pegar liar di Pakistan berada dalam ancaman yang terus menerus, menurut Mohebullah Naveed, seorang ahli satwa liar di ibu kota Islamabad.

"Burung pegar tidak dapat bertahan hidup tanpa habitat mereka," kata Naveed, yang terkait dengan proyek konservasi burung pegar, kepada Anadolu.

Pengurangan tutupan hutan akibat perubahan iklim serta kebutuhan perumahan dan pertanian yang meningkat menjadi alasan utama penurunan jumlah burung liar ini, katanya.

Meskipun semua spesies burung pegar asli dilindungi di bawah undang-undang satwa liar lokal, perburuan dan penangkapan liar merupakan ancaman yang sama besarnya bagi dua spesies burung pegar utama di Pakistan, tambahnya.

"Perburuan liar dan perburuan kebanyakan dilakukan oleh penduduk lokal yang tinggal dekat dengan habitat (burung pegar). Mereka menikmatinya sebagai olahraga, meskipun berburu burung pegar adalah ilegal," kata Naveed, yang bertugas sebagai petugas konservasi satwa liar dengan Himalayan Wildlife Foundation, sebuah kelompok satwa liar yang berbasis di Islamabad.

Motif lain di balik perburuan liar dan perburuan burung pegar adalah dagingnya yang bernilai tinggi dan bulunya yang indah yang digunakan dalam topi tradisional di beberapa bagian utara Pakistan, katanya.

Selain itu, gangguan yang disebabkan selama pengumpulan tanaman obat di musim panas juga menjadi faktor, tambahnya.

Terancam punah dan rentan

Pakistan adalah rumah bagi enam spesies burung pegar: western horned tragopan (Tragopan melanocephalus), Himalayan monal (Lophura impejanus), koklass pheasant (Pucrasia macrolopha), white-crested kalij (Lophura leucomelanos), Indian peafowl (Pavo cristatus) dan cheer pheasant (Catreus wallichii).

Hutan yang luas di Kashmir yang dikelola oleh Pakistan, provinsi Khyber Pakhtunkhwa di barat laut, dan wilayah Gilgit-Baltistan di utara adalah tempat tinggal burung pegar liar.

Cheer pheasant dan western horned tragopan adalah spesies paling langka dan paling terancam di Pakistan, sementara yang lain masih memiliki populasi yang layak, kata Muhammad Naeem Awan, direktur penelitian dan konservasi di cabang Pakistan dari World Pheasant Association, kepada Anadolu.

Dua spesies ini telah diklasifikasikan sebagai "terancam punah" dan "rentan" dan masuk dalam Daftar Merah dari International Union for Conservation of Nature (IUCN), menurut Awan, yang juga merupakan anggota Komisi Kelangsungan Hidup Spesies IUCN.

"Populasi dari dua spesies ini sedang menurun dan situasinya membutuhkan tindakan segera," ia memperingatkan sekaligus menegaskan bahwa mereka harus dinyatakan sebagai "spesies prioritas" oleh pemerintah untuk memperkuat upaya menghidupkan kembali populasi mereka.

Kesadaran publik dan keterlibatan dalam upaya konservasi juga sangat penting untuk "kesuksesan jangka panjang," katanya.

Mendukung argumen tersebut, Naveed menyerukan agar pelestarian dan pemulihan habitat menjadi prioritas utama.

"Untuk melindungi dan menghidupkan kembali populasi burung pegar liar, upaya konservasi harus fokus pada pelestarian dan pemulihan habitat, memastikan lingkungan yang beragam dan alami untuk makan dan berkembang biak," katanya.

"Menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan, menciptakan kawasan lindung, dan menanam vegetasi asli akan mendukung habitat mereka," tambahnya.

Selain itu, ia mengatakan, kontrol ketat terhadap perburuan liar, pengelolaan populasi predator, dan pembiakan burung pegar di penangkaran untuk dilepaskan kembali ke alam liar dapat membantu meningkatkan jumlah mereka.

Kepunahan menjadi ‘bencana’

Tidak ada survei rinci yang baru-baru ini dilakukan di Pakistan untuk mengetahui status populasi spesies burung pegar liar saat ini, menurut Jamshed Iqbal Choudhry, seorang pejabat di World Wide Fund for Nature, Pakistan (WWF-Pakistan).

Namun, ia mengatakan, empat spesies masih memiliki populasi yang "layak", terutama di kawasan lindung seperti Taman Nasional Ayubia di Khyber Pakhtunkhwa dan Taman Nasional Margalla Hills di Islamabad.

"Ada kebutuhan untuk melakukan survei rinci di situs-situs potensial yang diketahui dan menjelajahi area baru untuk konservasi mereka," katanya.

Mendukung pandangan tersebut, Naveed mengatakan beberapa survei telah dilakukan di beberapa area terpilih untuk spesies tertentu, tetapi dalam konteks seluruh Pakistan, "sulit untuk memperkirakan jumlah mereka saat ini."

Kepunahan burung pegar liar akan menjadi "bencana" karena mereka memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, katanya.

"Burung pegar membantu mengontrol populasi serangga, menyebarkan biji, dan menyediakan makanan bagi predator. Kehilangan mereka dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam jaring makanan, pengurangan keanekaragaman hayati, dan perubahan pertumbuhan vegetasi, yang berdampak negatif pada satwa liar dan kesehatan habitat mereka," katanya.

Sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar, burung pegar membantu mempertahankan stabilitas ekologis di area yang mereka huni, tambahnya.

Sumber : Anadolu-OANA

Baca juga: AI tingkatkan konservasi burung di danau air tawar terbesar di China
Baca juga: BKSDA Maluku lepasliarkan 25 satwa dilindungi, burung hingga ular
Baca juga: Kembalinya satwa burung dengan restorasi kawasan konservasi


Foto burung pegar/burung kuau Pakistan di habitat aslinya/ANTARA/Anadolu/PY

Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024