Penting bagi masyarakat untuk mengetahui cara penularan dan pencegahan
Jakarta (ANTARA) - Pakar kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan penyuluhan kesehatan yang luas ke masyarakat dapat menjadi salah satu langkah mengendalikan Mpox (monkeypox atau cacar monyet) di negeri ini termasuk Jakarta.

"Penting bagi masyarakat untuk mengetahui cara penularan dan pencegahan," kata Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI dalam pesan tertulisnya, Selasa.

Penularan Mpox terjadi akibat kontak jarak dekat dengan sekresi saluran pernapasan, darah, cairan tubuh, dan lesi kulit atau mukosa yang mengandung virus dari pasien Mpox.

Selain itu, penularan juga dapat terjadi melalui kontak erat dalam waktu lebih dari empat jam dengan orang yang terinfeksi Mpox, terlebih yang terpapar droplet maupun berhubungan seksual.

Seseorang juga dapat terkena Mpox apabila menggunakan atau menyentuh pakaian, seprai, selimut, maupun permukaan yang sebelumnya digunakan maupun telah terkontaminasi cairan tubuh atau cairan dari kulit yang melepuh dari penderita Mpox.

Tjandra mengatakan masalah Mpox di dunia terus merebak ke berbagai negara selain di benua Afrika seperti ke Swedia, hingga Thailand. Oleh karena itu, dia menyarankan sejumlah langkah guna mengantisipasi Mpox. Selain penyuluhan kesehatan, diperlukan pula surveilans agar semua suspek kasus di pelosok negeri dapat dideteksi dan ditemukan dengan baik.

Lalu, apabila sudah dideteksi maka harus tersedia alat tes diagnosis yang akurat baik dalam bentuk PCR dan juga pemeriksaan biomolekuler. Selanjutnya, apabila ditemukan kasus maka harus dilakukan penelusuran kontak yang kira-kira sama seperti kegiatan sewaktu pandemi COVID-19.

Kemudian, pada mereka yang sakit terutama yang terkena varian clade IB maka harus disediakan fasilitas pengobatan.

"Setidaknya ada empat faktornya, yaitu tenaga kesehatan terlatih, ruang isolasi dan sarana prasarananya, obat yang tepat seperti tecovirimat (TPOXX, ST-246) dan penetapan masa isolasi dan karantina untuk suspek," tutur Tjandra.

Langkah lainnya yakni vaksinasi setidaknya dalam dua jenis. Pertama yakni PEPV (post exposure prevention vaccine) yang diberikan pada mereka yang diduga tertular atau kontak erat, dan jenis ke dua yaitu PPV (primary prevention vaccine)” yang diberikan pada kelompok risiko tinggi.

Menurut Tjandra, diperlukan pula pengetatan di pintu masuk negara. Ini harus diimbangi dengan penguatan sistem kesehatan dalam negeri, karena karantina tidak akan dapat menjamin sepenuhnya ada tidaknya kasus yang masuk, apalagi kalau pendatangnya belum ada gejala.

Hal lainnya yakni perlu Pemerintah Indonesia terus berkoordinasi dengan organisasi internasional seperti WHO. Tjandra pernah mengusulkan agar dibentuk pusat pengendalian dan pencegahan penyakit (CDC) ASEAN sebagai wadah koodinasi di kawasan Asia Tenggara.

"Saya sudah sejak lama mengusulkan agar ada juga dibentuk. Kita tentu berharap agar Indonesia menjadi melakukan tindakan maksimal yang tepat untuk mencegah penyakit ini merebak makin luas," kata Tjandra.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat terdapat 88 kasus Mpox hingga 17 Agustus lalu. Secara rinci, kasus tersebar di DKI Jakarta sebanyak 59 kasus konfirmasi, Jawa Barat 13 kasus konfirmasi, Banten 9 konfirmasi, Jawa Timur 3 konfirmasi, Daerah Istimewa Yogyakarta 3 konfirmasi, dan Kepulauan Riau 1 konfirmasi. Lalu, dari jumlah tersebut, sebanyak 87 kasus telah dinyatakan sembuh.

Kemudian, dari 88 kasus yang dikonfirmasi, sebanyak 54 kasus memenuhi kriteria untuk dilakukan penelusuran genom secara menyeluruh atau whole genome sequencing (WGS) guna mengetahui varian virus.

Dari 54 kasus ini seluruhnya varian Clade IIB. Clade II ini mayoritas menyebarkan wabah Mpox pada tahun 2022 hingga saat ini dengan fatalitas lebih rendah dan ditularkan sebagian besar dari kontak seksual.
Baca juga: Ikhtiar menanggulangi Mpox
Baca juga: WHO luncurkan rencana strategis global untuk tanggulangi wabah mpox
Baca juga: Menkes: Fatalitas cacar monyet di Indonesia rendah & masih terkendali

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2024