Jakarta (ANTARA) - Ahli Perencanaan Kota Bernardus Djonoputro berpendapat Jakarta perlu mengadopsi konsep "mixed use building" untuk menyediakan hunian murah bagi masyarakat.

"Sekarang yang menjadi tren dunia itu kota-kota yang semakin 'compact' dan semakin efisien. Untuk itu, setiap kota harus punya permukiman atau perumahan yang terjangkau oleh semua strata masyarakat," kata Bernardus di Jakarta, Senin.

Konsep "mixed-use building" merupakan konsep bangunan yang memiliki beberapa fungsi dan penggunaan yang berbeda dalam satu bangunan. Konsep ini dapat memadukan fungsi hunian, perkantoran, pendidikan, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi dan fungsi lainnya, dalam satu bangunan.

Menurut dia, konsep "mixed use building" yang disampaikan oleh bakal calon gubernur (Bacagub) DKI Jakarta Ridwan Kamil di Indonesia Net Zero Summit di Jakarta, Sabtu (24/8) merupakan solusi yang tepat bagi kota sebesar Jakarta.

Ketua Majelis Kode Etik Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAPI) itu menilai harga lahan dan tanah yang semakin mahal dapat diatasi dengan membangun "mixed use building" di tengah kota.

"Karena harga lahan semakin tinggi dan keterbatasan lahan, maka cara untuk mendapatkan perumahan adalah dengan membangun hunian vertikal," kata Bernardus.

Baca juga: Emil Dardak: Jakarta harus sediakan hunian agar ekonomi tetap tumbuh

Dia mengakui hal itu tidak bisa dilakukan di setiap tempat, tetapi dia melihat banyak lokasi di Jakarta yang bisa dimaksimalkan untuk menghadirkan "mixed use building".

Bernardus mencontohkan aset-aset milik Pemprov DKI Jakarta seperti pasar yang jumlahnya mencapai ratusan bisa dimaksimalkan untuk membangun "mixed use building".

"Itu kan potensi ya. Pasarnya tetap, bahkan pasarnya menjadi lebih rapi, tidak lagi becek. Dan fungsi ruangnya dinaikkan ke atas, tergantung luas lahan, ditambah dengan mengkonsolidasi lahan di sekitarnya mungkin bisa tiga sampai empat tower," paparnya.

Dengan demikian, Pemprov DKI Jakarta bisa menghadirkan hunian yang layak, murah, dan inklusif untuk masyarakat dari berbagai kelas sosial.

"Yang namanya kota itu selalu harus inklusif dan selalu harus bisa dihuni oleh berbagai kelas sosial. Jadi, tidak eksklusif hanya untuk orang kaya saja. Kota yang baik adalah kota yang mempunyai ruang-ruang bagi kelas atas, kelas menengah, menengah bawah, dan bawah. Sehingga ruang kotanya hidup dan saling mengisi," paparnya.

Bernardus menambahkan, kota-kota di dunia sudah mengarah ke sana, maka Jakarta tidak boleh ketinggalan. Konsep "mixed use building" merupakan keniscayaan bagi kota sekelas Jakarta.

"Bila Jakarta ingin mencapai net zero carbon, maka 'net zero lifestyle' seperti yang disampaikan oleh Ridwan Kamil harus menjadi gaya hidup masyarakat. Dengan gaya hidup tersebut, mobilitas masyarakat lebih efisien," kata Bernardus.

Pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan menghadirkan tempat tinggal, tempat bekerja, dan tempat untuk memenuhi berbagai kebutuhan lainnya di satu lokasi.

"Masyarakat tidak lagi naik mobil pribadi, lebih banyak naik sepeda, kendaraan umum, dan jalan kaki. Karena naik kendaraan pribadi sangat mahal dan tidak efisien sama sekali. Bahkan kalau busnya bus listrik, keretanya listrik, dan dilakukan agar motor-motornya pun menjadi listrik, kota itu mengarah ke net zero-nya lebih cepat," paparnya.

Sebelumnya, Bacagub DKI Jakarta Ridwan Kamil menuturkan mobilitas penduduk di kota besar sangat tinggi, oleh karenanya paradigma "more productivity" (produksi lebih banyak) dan "more mobility" (banyak mobilitas) diubah menjadi "more productivity", tetapi "less mobility" (kurangi mobilitas).

Baca juga: Memanusiakan warga dengan hunian layak "Rumah Barokah Palmerah"

"Jadi kalau adik adik bisa hidup produktif. Menjadi lebih keren lebih kaya lebih pintar tapi 'less mobility' itu akan mengurangi karbon yang boros seperti hari ini," kata dia.

Oleh karena itu, Ridwan Kamil berharap ke depan orang-orang akan memilih gaya hidup net zero emission (nol emisi karbon).

Dia mencontohkan orang tinggalnya di Kelapa Gading, maka ia bekerja dan nongkrong di Kelapa Gading.

"Jangan tinggal di sini, kerja di sana. Maka konsep CBD (central business district) itu sebenarnya sudah old school. Suatu hari di mana pun kita tinggal, kita bekerja di situ, nongkrong situ, happy di situ, (kalau) kepepet baru kita pergi lintas kecamatan, lintas kota, itulah masa depan menurut saya yang harus jadi kebijakan," kata RK.

Pria yang minta dipanggil Bang Emil itu pun mempromosikan konsep "mixed-use lifestyle", bukan "single-use lifestyle".

"Kalau 'single-use lifestyle' seperti sekarang, tinggalnya di Depok, kerjanya di Sudirman-Thamrin. Tapi suatu hari negara ini harus punya konsep 'mixed-use lifestyle' atau live (hidup), 'work' (kerja), and 'play' (bermain) di satu lokasi," katanya.

Baca juga: Bang Emil: Kemacetan dapat diatasi dengan perbanyak rumah tengah kota

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ade irma Junida
Copyright © ANTARA 2024