Para pakar yang membahas `TradCAM` (pengobatan tradisional, pengobatan herbal, dan pengobatan alternatif) itu berasal dari Thailand, Jepang, Filipina, Tiongkok, Malaysia, dan Indonesia sendiri,"

Surabaya (ANTARA News) - Puluhan pakar dari enam negara akan membahas masalah pengobatan tradisional dalam simposium "TradCAM" (traditional complimentary and alternative medicine) yang digelar program studi "Battra" (pengobat tradisional) Universitas Airlangga di Surabaya pada 12--13 April.

"Para pakar yang membahas TradCAM (pengobatan tradisional, pengobatan herbal, dan pengobatan alternatif) itu berasal dari Thailand, Jepang, Filipina, Tiongkok, Malaysia, dan Indonesia sendiri," kata ketua panitia pengarah simposium itu, Prof Dr Med dr Puruhito SpB SpBTKV, di Surabaya, Kamis.

Didampingi wakilnya Arijanto Jonosewojo SpPD FINASIM dan pakar "battra" Unair Prof Dr Mangestuti Agil Apt MSi, ia menjelaskan pembicara simposium antara lain Dr Mohamed Shajahan (WHO), Dr Martha Tilaar (jamu), dan Dr Noornisah Muhamed (USM Malaysia).

Selain itu, Wang Jingjing MD (WFAS), Prof Chen Zhi Gang (BUCM), Dr BRA Mooryati Soedibyo SS MHum (jamu), Musikorn Tuseewan MSc MPH (UBRU Thailand), Prof Dr Leonardus BS Kardono (LIPI), Dr Abidinsyah Siregar DHSM M.Kes (BKKBN), dan sebagainya.

"Pengobatan tradisional di dunia sudah berkembang pesat, seperti battra di Tiongkok ada 30 persen dan di Amerika ada 20 persen, bahkan di Amerika ada 30-an fakultas yang mempelajari battra secara konsisten," katanya.

Menurut mantan Rektor Unair Surabaya itu, Indonesia sudah seharusnya memiliki pengobatan tradisional yang lebih dikenal dari negara lain, seperti halnya Tiongkok, karena Indonesia memiliki keanekaragaman biologik terbesar di dunia.

Oleh karena itu, Unair membuka program studi battra sejak tahun 2005, tapi bentuknya masih diploma-3 (D-3), namun untuk mengantisipasi pesatnya battra, maka D-3 Battra mulai tahun 2014 dijadikan D-4 Battra yang bersifat setara dengan sarjana (S1).

"Boleh dibilang, Unair merupakan universitas yang pertama menjadikan battra sebagai program studi yang sifatnya akademis dan berijazah. Pengobat tradisional yang berijazah itu penting, karena pengobatan tradisional itu ada ilmunya dan bila dijalani tanpa ilmu justru merugikan masyarakat, karena praktik ilegal dalam pengobatan yang berkembang," katanya.

Bahkan, penelitian tentang pengobatan tradisional atau "TradCAM" sebenarnya cukup banyak, seperti UGM yang sudah memiliki penelitian tentang pengobatan tradisional untuk autisme, IPB yang memiliki penelitian pengobatan tradisional anti-pikun, Unair juga memiliki penelitian tentang khasiat semanggi untuk menghindari osteoporosis atau kayu manis untuk anti-diabetes.

"Tapi, semuanya harus berdasarkan pada keilmuan, karena pengobatan tradisional itu mirip dengan pengobatan konvensional yang memiliki formulasi dalam takaran tertentu, meski obat tradisional tapi bila formulasi tidak sesuai juga bisa berbahaya," katanya.

Hingga kini, Unair sudah meluluskan 200-an pengobat/dokter tradisional. "Semuanya sangat terserap dalam masyarakat, baik buka praktik sendiri maupun bekerja pada puskesmas. Di Surabaya sendiri saat ini ada 20 puskesmas yang memiliki poli battra," katanya.

Tentang materi simposim, pakar "battra" Unair Prof Dr Mangestuti Agil Apt MSi menjelaskan ada 50-an paper yang akan dibicarakan dalam simposium selama dua hari yang dibuka Menteri Kesehatan Dr Nafsiah Mboi SpA MPH itu.

"Materinya lebih mengacu pada TradCAM yang merupakan perpaduan antara pengobatan tradisional dan pengobatan konvensional yang bersifat komplementer, karena pengobatan tradisional dan konvensional yang dipadukan itu hasilnya lebih bagus," katanya.

Ia menambahkan simposium internasional bertema "The Appliance of Herbal Medicine and other Complementary Alternative Medicine in Indonesian Integrative Medicine" itu bertujuan menyosialisasikan "TradCAM" kepada semua pihak, termasuk dokter.

"Bagaimanapun, pengobatan tradisional merupakan cara pengobatan yang telah ada sejak dulu. Penggunaan bahan-bahan berdasarkan resep nenek moyang, adat istiadat, atau bahkan kepercayaan yang diyakini bersifat magis itu telah diuji secara ilmiah oleh para akademisi dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Selain itu, regulasi juga perlu ditata," katanya. (*)

Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014