Jakarta (ANTARA) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut bahwa faktor budaya menjadi salah satu penyebab tingginya anak putus sekolah di Cianjur, Jawa Barat.

"Budaya yang berkembang di Cianjur itu orang tua ketika tidak mampu memasukkan anaknya ke sekolah formal, mereka kemudian memasukkan anak ke ponpes (pondok pesantren), sementara di ponpes ya sebenarnya dia (anak) bersekolah, belajar ilmu agama, kitab kuning, Alquran, hadits, fikih," kata Anggota KPAI Aris Adi Leksono, saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Namun, persoalannya sebagian pondok pesantren salafiyah tidak terdata dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sehingga para santri-nya menjadi anak putus sekolah.

"Ponpes ini kadang tidak menyelenggarakan pendidikan formal, sehingga anak di pesantren murni belajar tentang salafiyah, ilmu agama dan mereka di situ tidak terdaftar dalam dapodik, sehingga mereka terdata sebagai anak yang putus sekolah," kata Aris Adi Leksono.

Faktor lainnya adalah anak lebih memilih bekerja membantu orang tua, anak mengalami perundungan di sekolah sehingga anak memilih untuk tidak sekolah, jarak sekolah terutama SMP yang terlalu jauh yakni 8 kilometer dari tempat tinggal, dan kurangnya pengetahuan orang tua tentang pentingnya pendidikan.




Angka anak putus sekolah di Cianjur tinggi, yakni mencapai 367 anak SD atau setingkat MI dan 186 anak SMP atau setingkat MTs.

Terkait hal ini, KPAI pun melakukan peninjauan langsung ke dua desa di Cianjur, yaitu Desa Sukamanah dan Desa Wangunjaya.

Aris Adi Leksono menegaskan tentang pentingnya sekolah bagi masa depan anak.

"Sekolah bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga tempat untuk tumbuh, berkembang, dan mempersiapkan masa depan sebab pendidikan merupakan fondasi utama," tuturnya.

 

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024