Palu (ANTARA News) - Ribuan massa dari dalam dan luar Kota Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), Jumat pagi, berdemonstrasi dengan memblokir jalan Trans Sulawesi dan membakar ban-ban bekas, memprotes eksekusi mati terhadap tiga terpidana kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo, Diminggus da Silva, dan Marinus Riwu.
Wartawan ANTARA dari Tentena melaporkan, sebagian massa juga sempat menduduki Kantor Polsek Pamona Utara, selain menutup jalur Trans Sulawesi
di kota kecil yang berada di tepian Danau Poso itu.
Konsentrasi massa sudah terlihat sejak pukul 06:30 Wita dan terus berberdatangan dari wilayah pinggiran kota Tentena sehingga aktivitas masyarakat sempat terhenti beberapa jam.
Dalam aksi protes itu, massa juga sempat menghujani benda keras ke Kantor Polsek dan setiap kendaraan yang melintas.
"Tapi bersyukur tindakan massa ini tidak mengakibatkan jatuhnya korban jiwa atau cedera," kata Yahya, tokoh masyarakat setempat.
Sejumlah kendaraan angkutan umum dan pribadi yang datang dari kota-kota di bagian barat dan utara Sulawesi serta bagian timur Sulteng yang melintas di jalur itu sempat ketakutan karena banyaknya massa yang turun ke jalan.
Bahkan setiap penumpang kendaraan-kendaraan yang melintas harus menjalani pemeriksaan oleh pengunjuk rasa, meski kemudian dilepaskan kembali.
Kemarahan massa baru dapat diatasi setelah aparat setempat disertai Pendeta Renaldy Damanik MSi, ketua umum Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) berada di lokasi dan memberikan pencerahan..
"Pak Damanik terpaksa harus naik truk lalu menenangkan massa melalui alat pengeras suara (mikrofon)," kata Yahya, dan menambahkan situasi kamtibmas di Tentena menjelang siang hari sudah mulai kondusif dan umumnya masyarakat kembali beraktivitas seperti biasa.
Dihubungi secara terpisah, Pendeta Damanik menyatakan pihaknya (Sinode GKST) sangat kecewa dengan sikap pemerintah memaksakan kendehak dalam melaksanakan eksekusi mati terhadap Tibo, Dominggus, dan Marinus.
"Kami menolak keras pelaksanaan eksekusi itu, sebab ketiga terpidana masih mengajukan permohonan grasi kedua kepada Presiden dan belum memperoleh putusan," tuturnya.
Damanik juga mendesak aparat penegak hukum di Provinsi Sulteng untuk segera mengusut dan memproses para pelaku kerusuhan Poso, mulai dari Jilid I (Desember 1998), Jilid II (April 2000), dan Jilid III (pecah sejak Mei 2000), guna memenuhi rasa keadilan masyarakat.
"Semua mereka yang terlibat dan memicu konflik komunal di Poso harus segera diproses secara hukum, termasuk para pejabat dan mantan pejabat pemerintahan serta oknum aparat keamanan ketika itu," katanya.
Sebelumnya, Roy Rening SH yang menjadi kuasa hukum ketiga terpidana mati, menyatakan eksekusi itu sebagai sebuah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, sehingga mereka yang terkait dalam pelaksanaannya harus bertanggungjawab apabila di belakang hari ditemukan bukti bahwa Tibo, Dominggus, dan Marinus tidak bersalah.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006