Jakarta (ANTARA News) - Berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) berbagai lembaga independen, tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu Legislatif 9 April 2014 yang mencapai 25 persen suara nasional.
Artinya tidak ada satu partai yang bisa sendiri mencalonkan kader terbaiknya sebagai presiden karena tidak ada yang memenuhi ambang batas minimum (presidential threshold) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Artinya lagi, satu partai politik harus bergabung dengan partai politik lain untuk memenuhi ambang batas 25 persen suara nasional itu. UU itu memang menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik yang meraih minimal 20 persen dari 560 kursi DPR RI atau partai politik yang meraih 25 persen suara sah secara nasional, yang berhak mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.
Hasil hitung cepat yang disiarkan oleh Antaranews yang merupakan hasil dari kerja sama dengan Radio Republik Indonesia (RRI) hingga pukul 18.50 WIB menunjukkan hasil bahwa PDI Perjuangan meraih 18,56 persen, Partai Golkar 14,71 persen, Gerindra 11,58 persen, Partai Demokrat 10,03 persen, PKB 9,38 persen, PAN 7,52 persen, PKS 6,84 persen, NasDem 6,65 persen, PPP 6,63 persen, Hanura 5,55 persen, PBB 1,64 persen, dan PKPI 0,92 persen.
Sedangkan hasil hitung cepat dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang telah mencapai 88,25 persen, menunjukkan hasil bahwa Partai NasDem meraih 6,29 persen, PKB 9,12 persen, PKS 6,56 persen, PDIP 19,74 persen, Partai Golkar 14,59 persen, Gerindra 11,78 persen, Partai Demokrat 9,72 persen, PAN 7,52 persen, PPP 7,05 persen, Hanura 5,28 persen, PBB 1,38 persen, dan PKPI 0,98 persen.
Hasil yang tak jauh berbeda ditunjukkan dalam hitung cepat dari Cyrus-CSIS yang dalam persentase sampel telah mencapai 90,60 persen, menunjukkan hasil bahwa Partai NasDem meraih 6,80 persen, PKB 9,30 persen, PKS 6,90 persen, PDIP 19,00 persen, Golkar 14,40 persen, Gerindra 11,90 persen, Partai Demokrat 9,60 persen, PAN 7,40 persen, PPP 6,70 persen, Hanura 5,40 persen, PBB 1,60 persen, dan PKPI 1,00 persen.
Sementara hasil yang juga mirip ditampilkan dari hitung cepat Litbang Kompas. Hingga persentase suara masuk sebesar 78 persen, menunjukkan hasil perolehan suara Partai NasDem sebesar 6,68 persen, PKB 9,18 persen, PKS 7,08 persen, PDIP 19,35 persen, Golkar 14,75 persen, Gerindra 11,79 persen, Partai Demokrat 9,36 persen, PAN 7,49 persen, PPP 6,75 persen, Hanura 5,19 persen, PBB 1,49 persen, dan PKPI 0,9 persen. Hitung cepat Kompas itu bahkan menampilkan suara sah sebesar 65,60 persen, suara tidak sah 7,66 persen, dan kertas suara yang tidak digunakan sebesar 26,74 persen.
Secara kebetulan, seluruh hasil hitung cepat itu menempatkan partai bernomor urut 4, 5, dan 6, yakni PDIP, Partai Golkar, dan Partai Gerindra berada pada peringkat 1, 2, dan 3 dalam perolehan suara Pemilu 2014.
Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie menyampaikan apresiasinya dan memberi ucapan selamat kepada Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri atas hasil hitung cepat.
Ia memastikan hasil penghitungan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) kelak, tidak akan berbeda jauh dengan hasil penghitungan cepat. Sesuai jadwal Pemilu 2014, KPU baru pada 7-9 Mei mendatang menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan menetapkan partai mana yang memenuhi ambang batas minimal perolehan kursi di parlemen sebesar tiga persen.
"Saya kira itu sesuai dengan pencerminan rakyat Indonesia. Meskipun Golkar tidak mencapai target yakni 23 persen tetapi saya kira Golkar akan tetap menerima hasil resmi dari keputusan KPU nanti," ujar Bakrie.
Meskipun membuktikan berhasil memenangkan Pemilu Legislatif, PDIP tidak mencapai target yang dipatok sebesar 27 persen suara. Begitu juga Partai Golkar dan Gerindra.
Partai Demokrat sebagai "the ruling party" dan memimpin pemerintahan koalisi dari hasil Pemilu 2009 harus menerima kenyataan pahit dengan hanya meraih di bawah 10 persen, sangat jauh dari kalkulasi sebelumnya yang bisa mereka capai lebih dari 20 persen.
Sementara PBB dan PKPI terancam harus bubar karena dengan perolehan angka di bawah tiga persen berarti tidak mendapat satu kursi di parlemen dan tidak bisa ikut Pemilu 2019.
Pola koalisi
Pertanyaannya adalah koalisi mana saja yang bisa terbentuk. Gubernur DKI Jakarta Jokowi yang telah mendeklarasikan menjadi calon presiden dari PDIP mengaku masih menggodok kriteria untuk bekerja sama dengan partai mana.
"Prinsipnya terbuka dengan partai manapun asalkan memiliki kesamaan platform," kata Jokowi.
Salah seorang peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat Dino Patti Djalal pun memastikan bahwa pemerintahan mendatang merupakan pemerintahan koalisi tetapi untuk saat ini belum terlihat pola koalisi antara partai mana dengan partai mana.
"Ini menunjukkan dinamika yang jauh lebih menarik dan lebih hidup. Saya kira pasti akan ada koalisi, hanya siapa dengan siapa belum kelihatan," kata Dino.
Namun mengacu pada praktik politik di parlemen dan pemerintahan sejauh ini, PDIP selalu menempatkan posisi sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang (check and balance) bagi pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh Partai Demokrat.
Selama dua periode pemerintahan koalisi yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode 2004-2009 dan periode 2009-2014 (sesuai jadwal pelantikan Presiden baru pada 20 Oktober 2014) menempatkan PDIP pada posisi berseberangan sehingga hasil Pemilu 2014 ini juga tidak akan menempatkan keduanya berada pada satu koalisi.
Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Hubungan Luar Negeri Kastorius Sinaga memperkirakan koalisi mengarah ke kubu tengah karena Partai Demokrat berada di peringkat menengah.
"Perkiraan mengarah ke parpol yang berbasis ideologi moderat ditambah dengan partai baru atau agama," katanya.
Dia juga menilai tidak akan ada parpol yang tidak berkoalisi karena perbedaan suara yang didapat tidak terlalu jauh. "Partai tidak bisa mengusung capresnya sendiri, saya kira pasti semua partai ancang-ancang membangun koalisi dari hasil pileg, nanti ada bargaining," katanya.
Yang jelas Partai Demokrat dan PAN misalnya hingga saat ini tak hanya terikat dalam koalisi pemerintahan tetapi kedua ketua umumnya, Susilo Bambang Yudhoyono dan Hatta Rajasa, pun memiliki hubungan besan.
Pengalaman pada pemilu-pemilu sebelumnya, PDIP dan Partai Golkar juga tak pernah berkoalisi, melainkan sama-sama bersaing dalam Pemilu Presiden. Tertutup kemungkinan PDIP dan Partai Golkar berkoalisi menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden karena kedua partai itu telah memiliki calon presiden masing-masing.
Hal yang menarik adalah yang disampaikan Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA bahwa PDIP dan Golkar akan berkoalisi pada pemerintahan selanjutnya setelah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. "Mereka tetap bersaing pada Pemilu Presiden namun setelah Pemilu Presiden mereka akan berkoalisi," kata Denny.
Ketua Umum Partai Hanura Wiranto pun sudah siap berkoalisi dengan partai lain yang menawarkan hal itu. Ketua Umum PKPI Sutiyoso mengaku sudah intensif berkomunikasi dengan pimpinan Partai Hanura untuk berkoalisi untuk menggenapkan koalisi dengan partai-partai lain mendukung calon presiden.
Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang juga Menteri Agama mengaku sangat intensif membangun komunikasi dengan Partai Gerindra untuk berkoalisi. Suryadharma mengatakan koalisi sangat membutuhkan kesepahaman antar partai, terutama terkait visi pembangunan Indonesia di masa mendatang, dan untuk saat ini PPP memiliki pandangan sama dengan yang diusulkan Partai Gerindra.
Begitu pula yang disampaikan oleh Presiden PKS Anis Matta bahwa pasti akan berkoalisi dengan partai lain
Untuk saat ini, bentuk koalisi belum terpola secara pasti dan masih membutuhkan komunikasi dan tawar menawar politik antara partai mana dengan partai mana. Hanya ada kesepakatan bahwa untuk bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 9 Juli mendatang, partai-partai politik harus berkoalisi. Pemerintahan koalisi segera datang kembali.
Oleh Budi Setiawanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014