Jakarta (ANTARA) - Kondisi udara di Jakarta pada Minggu pagi masuk kategori tidak sehat, selain itu posisinya  menduduki peringkat kelima sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.

Menurut situs pemantau kualitas udara IQAir, Sabtu pukul 07.58 WIB, kualitas udara di DKI Jakarta masuk kategori tidak sehat dengan angka 152 mengacu kepada penilaian PM2,5 dengan nilai konsentrasi 56,5 mikrogram per meter kubik.

Karena itu, dianjurkan warga Jakarta untuk menghindari aktivitas di luar ruangan atau gunakan masker jika ada di luar ruangan, kemudian menutup jendela untuk menghindari udara luar yang kotor.

Lebih lanjut dari data yang sama, kota dengan kualitas udara terburuk di dunia urutan pertama yaitu Baghdad (Iraq) di angka 178, urutan ketiga Kuwait City (Kuwait) yaitu 167 dan ketiga Kinshasa (Kongo) 166.

Namun, pada Agustus tahun ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, kualitas udara di Jakarta Bogor Depok Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) mengalami peningkatan dibandingkan dengan kondisi 2023. 

Baca juga: Akhir pekan, kualitas udara Jakarta malah buruk kedua di dunia

"Tahun ini jauh lebih baik kualitas udara di Jakarta dibandingkan tahun 2023," kata Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Sigit Reliantoro. 

Dirjen PPKL Sigit menjelaskan bahwa puncak kualitas udara berada di tingkat tidak sehat pada tahun lalu terjadi pada 1 Oktober 2023 dengan poin PM2,5 mencapai 83,72.

Sementara itu, perbandingan periode yang sama pada Agustus 2023 kualitas udara berdasarkan penilaian PM2,5 tertinggi mencapai 67,33 pada 7 Agustus 2023.

Kedua poin tersebut masih berada di bawah periode dengan puncak kualitas udara tidak sehat pada tahun ini yaitu 61,77 yang tercatat oleh sistem pemantau kualitas udara pada 1 Agustus 2024.

"Jadi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2023 baik per Agustus maupun dari puncaknya," kata Sigit.

Baca juga: Yuk tetap bermasker, udara Jakarta masih terburuk ketiga di dunia

Dia juga mengatakan status kuning, yang berarti kualitas udara dalam kategori sedang dan dapat menimbulkan risiko gejala penyakit pada pernapasan, berpotensi dapat terjadi dalam periode sampai September tahun ini di wilayah Jabodetabek karena curah hujan yang belum meningkat.

Mengenai penyebab kualitas udara yang membaik tahun ini, Sigit menyebut terdapat beberapa faktor termasuk semakin maraknya elektrifikasi kendaraan baik umum maupun pribadi dan semakin banyak masyarakat yang menggunakan transportasi umum.

"Tetapi yang juga mungkin berpengaruh adalah faktor kemarau. Kalau tahun lalu kemarau berkepanjangan, bahkan sampai Januari masih terjadi kemarau. Di tahun ini kita jauh lebih basah," demikian Sigit Reliantoro.

Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono juga telah menerbitkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 593 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Pengendalian Pencemaran Udara sebagai kebijakan untuk mempercepat penanganan polusi udara.

Ruang lingkup satgas pengendalian pencemaran udara ini di antaranya menyusun prosedur operasional standar (SOP) penanganan pencemaran udara di Provinsi DKI Jakarta, mengendalikan polusi udara dari kegiatan industri dan memantau secara berkala kondisi kualitas udara, hingga dampak kesehatan dari polusi udara.

Baca juga: Jakbar kembali tanam pohon di jalur hijau Kosambi

Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2024